Sabtu, 12 April 2014

MENGENAL PARA IMAM PERAWI HADITS

HADITS As-Sab’ah (imam yang tujuh) adalah : Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah. As-Sittah (imam yang enam) adalah : semua nama di atas kecuali Ahmad [1]. Al-Khamsah (imam yang lima) adalah : semua nama di atas kecuali Al-Bukhari dan Muslim [2]. Terkadang saya istilahkan juga dengan Al-Arba’ah dan Ahmad. Al-Arba’ah (imam yang empat) adalah : nama-nama di atas kecuali tiga nama pertama [3]. Ats-Tsalatsah (imam yang tiga) adalah : Abu Dawud, at-Tirmidzi, An-Nasa'i. Muttafaq ‘alaihi adalah : Al-Bukhari dan Muslim. (*Habib Hasan Ja'far Assegaf) MENGENAL PARA IMAM PERAWI HADITS 1. IMAM BUKHARI (194-256 H/ 773-835 M) Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al Bukhari bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah. Beliau dilahirkan di Bukhara, Uzbekistan setelah Shalat Jumat, pada tanggal 13 Syawal 194 H/810 M. Muhadditsin ini sangat wara’, banyak membaca Al Qur’an siang malam serta, gemar berbuat kebajikan. Sejak umur 10 tahun, dia sudah mempunyai hafalan hadits yang tidak sedikit jumlahnya. Beliau telah menulis Kitab Hadits yang memuat 600.000 hadits kemudian beliau pilih lagi menjadi 100.000 hadits shahih dan 1000 hadits TIDAK shahih. Shahih al-Bukhari adalah karya utama Imam Bukhari. Judul lengkap buku beliau ini adalah Al-Jami’ ash-Shahih al- Musnad al-Mukhtashar min Umūri Rasūlillah Shallallahu ’alayhi wa Sallam wa Ayyamihi (Jami’us Shahih), yakni kumpulan hadits-hadits shahih. Beliau menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk menyusun bukunya ini. Beliau memperoleh hadits dari beberapa hafizh, antara lain Maky bin Ibrahim, Abdullah bin Usman Al Marwazy, Abdullah bin Musa Al Abbasy, Abu Ashim As Syaibany dan Muhammad bin Abdullah Al Anshari. Karya-karya lainnya antara lain: · Qadlayas Shahabah Wat Tabi’in · At Tarikhul Kabir · At Tarikhul Ausath · Al ‘Adabul Munfarid · Birrul Walidain. Dalam kitab jami’nya, beliau menuliskan 6.397 buah hadits, dengan yang terulang. Yang muallaq sejumlah 1.341 buah, dan yang mutabi’ 384 buah, jadi seluruhnya berjumlah 8.122 buah. Beliau wafat pada malam Sabtu selesai shalat Isya’, tepat pada malam Idul Fitri tahun 252 H/870 M dan dikebumikan di Khirtank, kampung yang tidak jauh dari Samarkand. 2. IMAM MUSLIM (204-261 H/ 783-840 M) Beliau mempunyai nama lengkap Abul Husain Muslim bin Al Hajaj Al Qusyairy. Beliau dilahirkan di Nisabur, Iran tahun 204 H/820 M. Dia adalah muhadditsin dan hafidz yang terpercaya. Dia pergi ke berbagai kota untuk berguru hadits kepada Yahya bin Yahya, Ishaq bin Rahawaih, Muhammad bin Mahran, Abu Hasan, Ibnu Hanbal, Abdullah bin Maslamah, Yazid bin Mansur dan Abu Mas’ad, Amir bin Sawad, Harmalah bin Yahya, Qatadah bin Sa’id, Al Qa’naby, Ismail bin Abi Uwais, Muhammad bin Al Mutsanna, Muhammad bin Rumhi dan lain-lain. Dalam bidang hadits, beliau memiliki karya Jami’ush Shahih. Jumhur ulama mengakui kitab Shahih Muslim adalah secermat-cermat isnadnya dan sekurang-kurang perulangannya. Kitab ini berisikan 7.273 buah hadits, termasuk dengan yang terulang. Karya lainnya ialah: · Musnadul Kabir (Kitab yang menerangkan tentang nama-nama rijalul hadits) · Al Jami’ul Kabir · Kitabul ‘ilal wa kitabu auhamil muhadditsin · Kitabut Tamyiz · Kitab man laisa lahu illa rawin wahidun · Kitabut thabaqatut tabi’in · Kitabul Muhadiramin Beliau wafat pada hari Minggu, Rajab tahun 261 H/875 M dan dikebumikan pada hari Senin di Nisabur. menulis Kitab Shahih Muslim yang terdiri dari 7180 Hadits . Guru-guru beliau: Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Bukhari. Adapun murid murid beliau: Imam at-Tirmidzi, Abū Hatim ar-Razi dan Abū Bakr bin Khuzaimah termasuk. Buku beliau memiliki derajat tertinggi di dalam pengkategorisasian (tabwib). Kedua Ulama Ahli hadits ini biasa disebut dengan As Syaikhani (الشيخان ) dan kedua kitab Shahih beliau berdua disebut Shahihain (الصحيحين) sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh mereka berdua dari sumber sahabat yang sama disebut muttafaq ‘alaih (متفق عليه ) 3. IMAM ABU DAWUD (202-275 H/ 817-889 M) Nama lengkapnya adalah Abu Dawud Sulaiman bin Al Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Amr bin Amran Al Azdi As Sijistani. Ia dilahirkan di Sijistan (antara Iran dan Afganistan) pada 202 H/817 M. Ia seorang ulama, hafizh (penghafal Al Qur’an) dan ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan tentang ke-Islaman khususnya dalam bidang ilmu fiqih dan hadits. Dia berguru kepada para pakar hadits, seperti: Ibnu Amr Ad Darir, Qa’nabi, Abi Al Walid At Tayalisi, Sulaiman bin Harb, Imam Hambali, Yahya bin Ma’in, Qutaibah bin Sa’id, Utsman bin Abi Syaibah, Abdullah bin Maslamah, Musaddad bin Marjuq, Abdullah bin Muhammad An Nafili, Muhammad bin Basyar, Zuhair bin Harb, Ubaidillah bin Umar bin Maisarah, Abu bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Mutsanna, dan Muhammad bin Al Ala. Abu Dawud menghasilkan sebuah karya terbaiknya yaitu Kitab Sunan Abi Dawud. Kitab ini dinilai sebagai kitab standar peringkat 2 (kedua) dalam bidang hadits setelah kitab standar peringkat pertama yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Dalam kitabnya tersebut Abu Dawud mengumpulkan 4.800 buah hadits dari 500.000 hadits yang ia catat dan hafal. Karangan Abu Dawud yang berjumlah 20 judul dan tidak kurang dari 13 judul kitab telah mengulas karya tersebut dalam bentuk syarh (komentar), mukhtasar (ringkasan), tahzib (revisi) dll. Beliau tinggal dan menetap di Basra dan akhirnya wafat di Basrah pada tahun 275 H/889 M dalam usia 73 tahun. Buku beliau ini, utamanya menggabungkan antara riwayat-riwayat yang berkaitan dengan ahkam dengan ringkasan (mukhtasar) permasalahan fiqih yang berkaitan dengan hukum. Bukunya tersusun dari 4.800 ahadits. Al Khathaby mengomentari bahwa Kitab Sunan Abu Dawud itu adalah kitab yang lebih banyak fiqih-nya daripada Kitab As Shahihain. 4. IMAM AT-TIRMIDZI (209-279 H/ 824-892 M) Beliau mempunyai nama lengkap Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah at Tirmidzi bin Musa bin Dahhak As Sulami Al Buqi. Ia lahir di Termez, Tadzikistan pada bulan Dzulhijah 209 H/824 M. Ia merupakan ilmuwan Islam, pengumpul hadits kanonik (standar buku). Abu Ya’la Al Khalili, seorang ahli hadits menyatakan bahwa At Tirmidzi adalah seorang Siqah (terpercaya) dan hal ini disepakati oleh para ulama. Ibnu Hibban Al Busti (ahli hadits) mengakui kemampuan At Tirmdzi dalam hal menghafal, menghimpun dan menyusun hadits. At Tirmidzi adalah seorang murid dari Imam Bukhari dan beberapa guru lainnya seperti: Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Musa. Kitab beliau yang terkenal, Jami’ at-Tirmidzi menyebutkan seputar permasalahan fiqh dengan penjelasan yang terperinci. Beliau juga memiliki kitab Ilalul Hadits. Pada usia 70 tahun, ia meninggal di tempat kelahirannya Termez pada akhir Rajab tahun 279 H/892 M. 5. IMAM AN-NASA’I (215-303 H/ 830-915 M) An-Nasa’i memiliki nama lengkap Abu Abdir Rahman Ahmad bin Syu’aib an-Nasa’i bin Ali bin Bahr bin Sinan. Sedangkan nama panggilannya adalah Abu Abdul Rahman An-Nasa’i. Beliau lahir di Nasa’, Khurasan 215 H/830 M. Seorang ahli hadits ini memilih Mesir sebagai tempat menyiarkan hadits-hadits. Beliau mempunyai keahlian dalam bidang hadits dan ahli fiqih dalam mazhab Syafi’i. Di kota Damaskus ia menulis kitab Khasais Ali ibn Abi Thalib (Keistimewaan Ali bin Abi Thalib). Sedangkan karya-karyanya yang lain yaitu: · As Sunan Al Kubra (Sunan-sunan yang Agung). · As Sunan Al Mujtaba (Sunan-sunan Pilihan). · Kitab At Tamyiz (Pembeda) · Kitab Ad Du’afa (Tentang Orang-orang Kecil). · Khasais Amir Al Mu’minin Ali ibn Abi Thalib. · Manasik Al Hajj (Cara Ibadah Haji). · Tafsir Dari kitab-kitab tersebut, As-Sunan Al Kubra merupakan karya terbesarnya. Beliau memiliki guru-guru dalam bidang hadits antara lain: Qutaibah bin Sya’id, Ishaq bin Ibrahim, Ahmad bin Abdul Amru bin Ali, Hamid bin Mas’adah, Imran bin Musa, Muhammad bin Maslamah, Ali bin Hajar, Muhammad bin Mansyur, Ya’kub bin Ibrahim, dan Haris bin Miskin. An-Nasa’i meninggal dunia di kota Ramlah, Palestina dan dikuburkan di antara Shafa dan Marwah di Mekah pada hari Senin, 13 Safar tahun 303 H/915 M dalam usia 88 tahun. 6. IMAM IBNU MAJAH (209-273 H/ 824-887 M) Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah al-Qadziani Ar Raba’i Al Qazwani. Beliau lahir di Qazwin, Iran 209 H/824 M. Majah adalah nama gelar (Laqab) bagi Yazid, ayahnya yang dikenal juga dengan nama Majah Maula Rab’at. Ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa Majah adalah kakeknya Ibnu Majah. Ibnu Majah memiliki keahlian dalam bidang hadits, ahli tafsir dan ahli sejarah Islam. Ada 2 (dua) keahliannya dalam bidang tafsir yaitu tafsir Al Qur’an Al Karim dan At Tarikh. Pada usia 21 tahun dia mulai mengadakan perjalanan untuk mengumpulkan hadits. Dengan cara tersebut dia telah mendapatkan hadits-hadits dari para ulama terkenal yang mana juga sebagai gurunya seperti Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin Numaayr, Hisyam bin Ammar, Ahmad bin Al Azhar, Basyar bin Adam serta para pengikut Imam Malik dan Al Layss. Karya utama Ibnu majah dalam bidang hadits adalah Sunan Ibnu Majah yang dikenal sebagai salah satu dari enam kitab kumpulan hadits yang terkenal dengan julukan Al Kutub As Sittah (kitab yang enam). Lima kitab hadits yang lain dari kumpulan tersebut adalah Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At Tirmidzi dan Sunan An Nasa’i (disebut dengan Sunan, karena kitab ini mengandung ahadits yang menyinggung masalah duniawi/mu’amalah). Ibnu Majah wafat di tempat kelahirannya Qazwin hari Selasa, tanggal 20 Ramadhan 273 H/18 Pebruari 887 M dalam usia 64 tahun. 7. IMAM AHMAD (164-241 H/ 780-855 M) Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah bin Muhammad bin Hanbal Al Marwazy. Dia adalah ulama hadits terkenal kelahiran Baghdad. Dia dilahirkan pada bulan Rabiul Awal, tahun 164 H/780 M. Beliau terkenal sebagai salah seorang pendiri madzhab yang dikenal dengan nama Hanabilah (Hanbaly). Beliau mulai mencari hadits sejak berumur 16 tahun hingga merantau ke kota-kota di Timur Tengah. Dari perantauan inilah, beliau mendapatkan guru-guru kenamaan, antara lain: Sufyan bin ‘Uyainah, Ibrahim bin Sa’ad, Yahya bin Qaththan. Dan beliau adalah salah seorang murid Imam As Syafi’i yang paling setia. Dia merupakan seorang ahli hadits yang diakui kewara’an dan kezuhudannya. Menurut Abu Zur’ah, beliau mempunyai tulisan sebanyak 12 macam yang dikuasai di luar kepala. Beliau juga mempunyai hafalan matan hadits sebanyak 1.000.000 buah. Karya beliau yang sangat gemilang adalah Musnadul Kabir. Kitab ini berisikan 40.000 buah hadits yang 10.000 di antaranya merupakan hadits ulangan. Karya beliau yang paling utama adalah Musnad Ahmad yang tersusun dari 30.000 ahadits dalam 24 juz. Beliau pulang ke rahmatullah pada hari Jumat Rabiul Awal, 241 H/855 M di Baghdad dan dikebumikan di Marwaz yang mana jenazahnya diantar oleh 800.000 orang laki-laki dan 60.000 orang perempuan.

Selasa, 25 Maret 2014

Daftar Koran, Tabloid dan Majalah Online


بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
perpustakaan
Sumber Informasi dan Ilmu.
Informasi di jaman sekarang sudah menjadi kebutuhan dan lahan bisnis; contohnya dunia media massa baik cetak maupun elektronik kini tumbuh subur dari waktu ke waktu.
Postingan ini berisi link menuju situs online surat kabar, majalah dan tabloid. Diantaranya: 
1. Koran: Republika, Warta Kota, Suara Pembaruan, Media Indonesia, The Jakarta Post, Suara karya, Pos Kota, Seputar Indonesia, Koran Tempo, Bisnis Indonesia, harian Pelita, Sinar Harapan, Kompas, Rakyat Merdeka dan Top Skor.
2.Majalah: Intisari, Trubus, Sabili, Panji Masyarakat, Gatra, Ummi, Femina, Nurani dan Bobo.
3. Tabloid: Bola, Soccer, Mancing, Kontan, Pulsa, Otomotif, Wanita Indonesia, Internet, Nyata.
Cara membukanya sangat mudah. Klik saja nama koran, majalah atau tabloid yang anda pilih, anda akan langsung terhubung ke halaman koran atau majalah pilihan anda.

1. Koran Nasional

republika online
warta kota online
suara pembaruan online
media indonesia online indopos online jawa pos
Media Indonesia Indo Pos Jawa Pos       

pos kota onlineseputar indonesia online koran tempo online

bisnis indonesia online the jakarta post online sinar harapan online
The Jakarta Post

kompas online rakyat merdeka online
top skor online

2. Majalah

majalah intisari
majalah trubus
Sabili (?)

majalah gatra majalah ummi
Panji Masyarakat (?)

majalaah femina online majalah nurani majalah bobo

3. Tabloid

tabloid bola
tabloid soccer online
Mancing (?)

tabloid kontantabloid pulsaalamat tabloid otomotif

tabloid wanita indonesiatabloid internetalamat tabloid nyata



Demikianlah beberapa koleksi yang baru bisa saya himpun, ada beberapa yang masih perlu di cari linknya. Maka jika ada diantar pembaca yang mengetahui, atau ada mengusulkan tambahan koran, majalah atau tabloid untuk dipasang di blog ini, silakan beritahu lewat kotak komentar.
Semoga bermanfaat.

Minggu, 09 Maret 2014

10 perang kaum muslimin bersama nabi saw

INILAH 10 PERANG YG TERJADI DI ZAMAN NABI MUHAMMAD SAW

" Sahabat Pustakers, pada kesempata kali ini Pustaka Sekolah akan publish artikel mengenai Sejarah Islam, khusunya sejarah Perang yang dipimpin oleh Nabi SAW. Sewaktu awal perkembangan Islam, nabi SAW mau tidak mau harus mengahadapi Agresi musuh Islam pada medan Perang. Berikut ini beberapa Perang yang dipimpin langsung oleh Nabi SAW.
  Perang Badar (17 Ramadan 2 H)
Perang Badar terjadi di Lembah Badar, 125 km selatan Madinah. Perang Badar merupakan puncak pertikaian antara kaum muslim Madinah dan musyrikin Quraisy Mekah. Peperangan ini disebabkan oleh tindakan pengusiran dan perampasan harta kaum muslim yang dilakukan oleh musyrikin Quraisy. Selanjutnya kaum Quraisy terus menerus berupaya menghancurkan kaum muslim agar perniagaan dan sesembahan mereka terjamin. Dalam peperangan ini kaum muslim memenangkan pertempuran dengan gemilang. Tiga tokoh Quraisy yang terlibat dalam Perang Badar adalah Utbah bin Rabi"ah, al-Walid dan Syaibah. Ketiganya tewas di tangan tokoh muslim seperti Ali bin Abi Thalib. Ubaidah bin Haris dan Hamzah bin Abdul Muthalib. adapun di pihak muslim Ubaidah bin Haris meninggal karena terluka.
  Perang Uhud (Syakban 3 H)
Perang Uhud terjadi di Bukit Uhud. Perang Uhud dilatarbelakangi kekalahan kaum Quraisy pada Perang Badar sehingga timbul keinginan untuk membalas dendam kepada kaum muslim. Pasukan Quraisy yang dipimpin Khalid bin Walid mendapat bantuan dari kabilah Saqib, Tihamah, dan Kinanah. Nabi Muhammad SAW segera mengadakan musyawarah untuk mencari strategi perang yang tepat dalam menghadapi musuh. Kaum Quraisy akan disongsong di luar Madinah. Akan tetapi, Abdullah bin Ubay membelot dan membawa 300 orang Yahudi kembali pulang. Dengan membawa 700 orang yang tersisa, Nabi SAW melanjutkan perjalanan sampai ke Bukit Uhud. Perang Uhud dimulai dengan perang tanding yang dimenangkan tentara Islam tetapi kemenangan tersebut digagalkan oleh godaan harta, yakni prajurit Islam sibut memungut harta rampasan. Pasukan Khalid bin Walid memanfaatkan keadaan ini dan menyerang balik tentara Islam. Tentara Islam menjadi terjepit dan porak-poranda, sedangkan Nabi SAW sendiri terkena serangan musuh. Pasukan Quraisy kemudian mengakhiri pertempuran setelah mengira Nabi SAW terbunuh. Dalam perang ini, Hamzah bin Abdul Muthalib (paman Nabi SAW) meninggal terbunuh.
  Perang Khandaq (Syawal 5 H)
Lokasi Perang Khandaq adalah di sekitar kota Madinah bagian utara. Perang ini juga dikenal sebagai Perang Ahzab (Perang Gabungan). Perang Khandaq melibatkan kabilah Arab dan Yahudi yang tidak senang kepada Nabi Muhammad SAW. Mereka bekerjasama melawan Nabi SAW. Di samping itu, orang Yahudi juga mencari dukungan kabilah Gatafan yang terdiri dari Qais Ailan, Bani Fazara, Asyja", Bani Sulaim, Bani Sa"ad dan Ka"ab bin Asad. Usaha pemimpin Yahudi, Huyay bin Akhtab, membuahkan hasil. Pasukannya berangkat ke Madinah untuk menyerang kaum muslim. Berita penyerangan itu didengar oleh Nabi Muhammad SAW. Kaum muslim segera menyiapkan strategi perang yang tepat untuk menghasapo pasukan musuh. Salman al-Farisi, sahabat Nabi SAW yang mempunyai banyak pengalaman tentang seluk beluk perang, mengusulkan untuk membangun sistem pertahanan parit (Khandaq). Ia menyarankan agar menggali parit di perbatasan kota Madinah, dengan demikian gerakan pasukman musuh akan terhambat oleh parit tersebut. Usaha ini ternyata berhasil menghambat pasukan musuh.
  Perang Khaibar (7 H)
Lokasi perang ini adalah di daerah Khaibar. Perang Khaibar merupakan perang untuk menaklukkan Yahudi. Masyarakat Yahudi Khaibar paling sering mengancam pihak Madinah melalui persekutuan Quraisy atau Gatafan. Pasukan muslimin yang dipimpin Nabi Muhammad SAW menyerang benteng pertahanan Yahudi di Khaibar. Pasukan muslim mengepung dan memutuskan aliran air ke benteng Yahudi. Taktik itu ternyata berhasil dan akhirnya pasukan muslim memenangkan pertempuran serta menguasai daerah Khaibar. Pihak Yahudi meminta Nabi SAW untuk tidak mengusir mereka dari Khaibar. Sebagai imbalannya, mereka berjanji tidak lagi memusuhi Madinah dan menyerahkan hasil panen kepada kaum muslim.

  Perang Mu"tah (8 H)
Perang ini terjadi karena Haris al-Ghassani raja Hirah, menolak penyampaian wahyu dan ajakan masuk Islam yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Penolakan ini disampaikan dengan cara membunuh utusan Nabi SAW. Nabi SAW kemudian mengirimkan pasukan perang di bawah pimpinan Zaid bin Harisah. Perang ini dinamakan Perang Mu"tah karena terjadi di desa Mu"tah, bagian utara Semenanjung Arabia. Pihak pasukan muslim mendapat kesulitan menghadapi pasukan al-Ghassani yang dibantu pasukan Kekaisaran Romawi. Beberapa sahabat gugur dalam pertempuran tersebut, antara lain Zaid bin Harisah sendiri. Akhirnya Khalid bin Walid mengambil alih komando dan menarik pasukan muslim kembali ke Madinah. Kemampuan Khalin bin Walid menarik pasukan muslimin dari kepungan musuh membuat kagum masyarakat wilayah tersebut. Banyak kabilah Nejd, Sulaim, Asyja", Gatafan, Abs, Zubyan dan Fazara masuk Islam karena melihat keberhasilan dakwah Islam.
Penaklukan Kota Mekah/Fath al-Makkah (8 H)
Fath al-Makkah terjadi di sekitar kota Mekah. Latar belakang peristiwa ini adalah adanya anggapan kaum Quraisy bahwa kekuatan kaum muslim telah hancur akibat kalah perang di Mu"tah. Kaum Quraisy beranggapan Perjanjian Hudaibiyah (6 H) tidak penting lagi, maka mereka mengingkarinya dan menyerang Bani Khuza"ah yang berada dibawa perlindungan kaum muslim. Nabi Muhammad SAW segera memerintahkan pasukan muslimin untuk menghukum kaum Quraisy. Pasukan muslimin tidak mendapat perlawanan yang berarti, kecuali dari kaum Quraisy yang dipimpin Ikrimah dan Safwan. Berhala di kota Mekah dihancurkan dan akhirnya banyak kaum Quraisy masuk Islam.
  Perang Hunain ( 8 Safar 8 H)
Perang Hunain berlangsung antara kaum muslim melawan kaum Quraisy yang terdiri dari Bani Hawazin, Bani Saqif, Bani Nasr dan Bani Jusyam. Perang ini terjadi di Lembah Hunain, sekitar 70 km dari Mekah. Perang Hunain merupakan balas dendam kaum Quraisy karena peristiwa Fath al-Makkah. Pada awalnya pasukan musuh berhasil mengacaubalaukan pasukan Islam sehingga banyak pasukan Islam yang gugur. Nabi SAW kemudian menyemangati pasukannya dan memimpin langsung peperangan. Pasukan muslim akhirnya dapat memenangkan pertempuran tersebut.
Perang Ta"if (8 H)
Pasukan muslim mengejar sisa pasukan Quraisy, yang melarikan diri dari Hunain, sampai di kota Ta"if. Pasukan Quraisy bersembunyi dalam benteng kota yang kokoh sehingga pasukan muslimin tidak dapat menembus benteng. Nabi Muhammad SAW mengubah taktik perangnya dengan memblokade seluruh wilayah Ta"if. Pasukan muslimin kemudian membakar ladang anggur yang merupakan sumber daya alam utama penduduk Ta"if. Penduduk Ta"if pada akhirnya menyerah dan menyatakan bergabung dengan pasukan Islam.
  Perang Tabuk (9 H)
Lokasi perang ini adalah kota Tabuk, perbatasan antara Semenanjung Arabia dan Syam (Suriah). Adanya peristiwa penaklukan kota Mekah membuat seluruh Semenanjung Arabia berada di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Melihat kenyataan itu, Heraklius, penguasa Romawi Timur, menyusun pasukan besar untuk menyerang kaum muslim. Pasukan muslimin kemudian menyiapkan diri dengan menghimpun kekuatan yang besar karena pada masa itu banyak pahlawan Islam yang menyediakan diri untuk berperang bersama Nabi SAW. Pasukan Romawi mundur menarik diri setelah melihat besarnya jumlah pasukan Islam. Nabi SAW tidak melakukan pengejaran tetapi berkemah di Tabuk. Di sini Nabi SAW membuat perjanjian dengan penduduk setempat sehingga daerah perbatasan tersebut dapat dirangkul dalam barisan Islam.
  Perang Widan (12 Rabiulawal 2 H)
Perang ini terjadi di Widan, sebuah desa antara Mekah dan Madinah. Rasulullah SAW memimpin pasukan muslimin menghadang kafilah Quraisy. Pertempuran fisik tidak terjadi karena kafilah Quraisy lewat di daerah tersebut. Rasulullah SAW selanjutnya mengadakan perjanjian kerjasama dengan Bani Damrah yang tinggal di rute perdagangan kafilah Quraisy di Widan. Kesepakatan tersebut berisi kesanggupan Bani Damrah untuk membantu kaum muslim apabila dibutuhkan.
Demikianlah artikel mengenai sejarah peperangan yang dipimpin langsung oleh Nabi Muahammad SAW dalam menegakkan kalimah Allah di Bumi ini, semoga artikel ini tentunya dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi kita semua

Jumat, 07 Maret 2014

TAFSIR BIL MA'TSUR DAN BIR RA'YI




TAFSIR BIL MA’TSUR DAN TAFSIR BIL RA’YI

Makassar, 07 maret 2014

    Memperhatikan semakin majunya media di dunia ini pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Baik itu media masa, surat kabar maupun elektronik. Yang mana dampak positifnya adalah semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan baik bersifat keagamaan atau umum. Dan disini yang paling pokok mengenai tafsir Al-qur’an, yang mana bila dikembalikan kepesatnya perkembangan ilmu pendidikan yang saat ini kita rasakan adalah rasio (akal) lah yang menjadi tolak ukur terhadap suatu hal. Yang itu dinilai dari kemaslahatanya, maka kalau dikenakan pada Al-qur’an dengan tujuan Li-tafsir, maka itu tidak pas. Karena kita masih memiliki hadits nabi dan juga qoul sahabat dan tabi’in yang menjelaskan atau menerangkan tentang isi kandungan Al-qur’an dan juga guna mempertegas perbedaan antara Taksir dengan riwayat dan juga dengan akal. Maka dari argument diatas kami tertarik membahas “ bentuk tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi”.

PEMBAHASAN
  1. A.    Tafsir
Istilah Tafsir merujuk kepada Al-Quran sebagaimana tercantum di dalam ayat 33 dari Al-Furqan yang artinya “tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar  dan penjelasan (tafsir) yang terbaik”. Pengertian inilah yang dimaksud dalam Lisan al-‘Arab dengan “kasyf al-mughaththa” (membukakan sesuatu yang tertutup). Dan tafsir menurur Ibn Manzhur ialah membuka dan menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafadz.[1] Sebagian ulamapun banyak yang mengartikan tafsir sependapat dengan Ibn Manzhur yaitu menjelaskan dan menerangkan.
Didalam kamus bahasa Indonesia, kata tafsir diartikan dengan “keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Al-Quran”.[2] Termasuk didalamnya terjemah al-Quran. Jadi Tafsir Al-Quan ialah penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar memahaminya dari ayat-ayat Al-Quran. Dengan demikian menefsirkan al-Quran adalah menjelaskan atau menerangkan makna-makna yang sulit pemahamannya dari ayat-ayat tersebut. Dalam perkembangannya, tafsir terus dikembangkan dengan berbagai metode untuk mencoba menemukan maksud yang pas dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Dalam perkembangan awal, penafsiran tebagi menjadi dua macam. Yaitu penafsiran Bil Ma’tsur dan Bil Ro’yu.
  1. B.     Tafsir bil Ma’tsur
Tafsir bil ma’tsur adalah metode penafsiran dengan cara mengutip,atau mengambil rujukan pada Al – qur’an , hadist Nabi, kutipan sahabat serta tabi’in[3]. Metode ini meng-haruskan mufasir menelusuri shahih tidaknya riwayat yang digunakannya.
  1. C.    Sejarah serta perkembangan tafsir bil ma’tsur
Tafsir bil ma’tsur telah ada sejak zaman sahabat. Pada zaman ini tafsir bil ma’tsur dilakukan dengan cara menukil penafsiran dari Rasulullah SAW, atau dari sahabat oleh sahabat,serta dari sahabat oleh tabi’in dengan tata cara yang jelas periwayatannya, cara seperti ini biasanya dilakukan secara lisan. Setelah itu ada periode dimana penukilannya menggunakan penukilan pada zaman sahabat yang telah dibukukan dan dikodifikasikan, pada awalnya kodifikasi ini dimasukkan dalam kitab- kitab hadits, namun setelah tafsir menjadi disiplin ilmu tersendiri, maka ditulis dan terbitlah buku – buku yang memuat khusus tafsir bil ma’tsur lengkap dengan jalur sanad kepada nabi muhammad Saw, para sahabat, tabi’in al tabi’in.[4]
Semua kitab tafsir ini biasanya memuat hanya tentang tafsir bil ma’tsur kecuali kitab yang dikarang ibn Jarir yang menyertakan pendapat dan menganalisannya serta mengambil istinbath yang mungkin ditarik dari ayat al-qur’an. Pada perkembangan selanjutnya, ada banyak tokoh yang mengkodifikasikan tafsir bil ma’tsur tanpa mengemukakan periwayatan sanadnya dan hanya mengemukakan pendapat – pendapatnya sendiri serta tidak membedakan periwayatn yang shahih atau tidak. Karena adanya kecurigaan pemalsuan, muncullah studi – studi kritis yang berhasil menemukan dan menyingkap sebagian riwayat palsu sehingga para mufasir dapat berhati –hati. Hal ini kita temukan ketika menafsirkan Al-Quran pada ayat yang mujmal ditafsirkan oleh ayat lain yang mufasshal, ayat Al-Quran yang mutlaq dengan ayat Al-Quran yang muqayyad.[5]
Namun perlu kita tekankan juga bahwa dalam perkembangan tafsir bil ma’tsur sendiri, tidak bisa terlepas dari unsur ro’yi. Walaupun pada masa ini blum begtu dikenal adanay tafsir bil ro’yi tetapi mereka dalam melakukan penafsiran bil ma’tsur tidak bisa lepas dari unsur ro’yi secara tidak langsung. Begitupun dalam penafsran bil ra’yi mereka tidak serta lepas dari tafsir bil ma’tsur.
  1. Penafsiran Al-qur’an dengan Al-qur’an
Contoh, seperti firman Allah :
وَالسَّمَآءِ وَالطَّارِقِ
Artinya : “Demi langit dan yang datang dimalam hari”.QS. Ath-Thariq : 1
النَّجۡمُ الثَّاقِبُۙ ).الطّارق: ۳ ‏(
Artinya : “Ialah bintang yang bercahaya”. QS. Ath-Thariq : 3
Kemudian firman Allah ‘Azza wa jalla :
فَتَلَقّٰٓى اٰدَمُ مِنۡ رَّبِّه كَلِمٰتٍ فَتَابَ عَلَيۡهِ‌ اِنَّه هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيۡمُ‏ ﴿ البَقَرَة:  ۳۷﴾
Artinya : “Kemudian Adam memperoleh beberapa kalimat dari tuhannya (ia mohon ampun), lalu Allah menerima tobatnya”. QS. Al-Baqarah : 37.
Ditafsirkan dengan firman Allah :
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمۡنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمۡ تَغۡفِرۡ لَنَا وَتَرۡحَمۡنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِينَ )الاٴعرَاف: ٢٣(
Artinya : “Keduanya berkata, ya tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, jika engkau tidak ampuni kesalahan kami dan tidak engkau asihi kami, tentulah kami orang yang merugi”. QS. Al-A’raf : 23.
Lagi firman Allah ‘Azza wa jalla :
إِنَّآ أَنزَلۡنَـٰهُ فِى لَيۡلَةٍ۬ مُّبَـٰرَكَةٍ‌ۚ) الدّخان:٣(
Artinya : “Sesungguhnya kami menurunkan dia pada malam yang penuh berkah”. QS. Ad-Dukhan : 3.
Ditafsiri dengan firman Allah :
إِنَّآ أَنزَلۡنَـٰهُ فِى لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ (القَدر: ١(
Artinya : “Sesungguhnya telah kami turunkan Al-qur’an pada malam Qadar (malam mulia atau taqdir”. QS. Al-Qadar : 1.
Penafsiran Al-qur’an dengan Al-qur’an adalah bentuk tafsir yang tertinggi. Keduannya tidak diragukan lagi untuk diterimanya yang pertama, karena Allah SWT. Adalah sumber berita yang paling benar, yang tidak mungkin tercampur perkara batil dari-Nya. Adapun yang kedua, karena himmah Rasul adalah Al-qur’an, yakni untuk menjelaskan dan menerangkan.

  1. Penafsiran Al-qur’an dengan Hadits
Allah ‘Azza wa jalla berfirman :
وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن قُوَّةٍ۬) … الاٴنفَال: ٦٠(
Artinya : “Hendaklah kamu sediakan untuk melawan mereka, sekedar tenaga kekuatanmu … “. QS. Al-Anfal : 60.
Nabi SAW. Menafsirkan kata Al-quwwah (قُوَّةٍ۬ ) dengan Ar-Ramnya ( الرَّمْيُ ) yang artinya panah. Sabda Nabi : “ingat, sesungguhnya kekuatan adalah anak panah, ingat, sesungguh-Nya kekuatan adalah anak panah”.

  1.  Tafsir sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in
Sesungguhnya tafsir para sahabat yang telah menyaksikan wahyu dan turunya adalah memiliki hukuman marfu’ artinya, bahwa tafsir para sahabat mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan Hadits Nabawi yang diangkat dari Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, tafsir sahabt itu termasuk ma’tsur.[6]
Adapun tafsir para tabi’in dan tabi’it-tabi’in ada perbedaan pendapat dikalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat, tafsir itu termasuk ma’tsur, karena tabi’in itu bejumpa dengan sahabat. Ada pula yang berpendapat, tafsir itu sama saja dengan tafsir bi ra’yi (penafsiran dengan pendapat). Artinya, para tabi’in dan tabi’it-tabi’in itu mempunyai kedudukan yang sama dengan Mufasyir yang hanya menafsirkan berdasarkan kaidah bahasa arab.
Diantara kitab tafsir yang memuat tentang tafsir bil ma’tsur yakni :[7]
  • Tafsir Jami’ul Bayan ( Ibnu Jarir Ath Thabary)
  • Tafsir Al Bustan (Abul Laits as Samarqandy)
  • Tafsir Baqy Makhlad
  • Tafsir Ma’limut Tanzil (Al Baghawy)
  • Tafsir Al– Qur- anul ‘Adhim ( Al Hafidh ibnu Katsir)
  • Tafsir Asbabun Nuzul (Alwahidy)
  • Tafsir An Naskh wal mansukh (Abu Ja’far An Nahas)
  • Tafsir Ad Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur (As Suyuthy)
  • Al jawahir al – Hassan fi tafsir al-qur’an
    (Abdurrahman Atsa’libi)

Pada perkembanganya tafsir bil ma’tsur juga mengalami perbedaan pendapat antar Para periwayat, namun perbedaan itu hanya terletak pada aspek redaksional sehingga maknanya sama hanya kata – kata yang berbeda. Perbedaan ini dapat diklasifikasikan dalam dua macam yaitu :
- Pertama , seorang mufasir mengungkapkan maksud sebuah kata dengan redaksi yang berbeda dengan mufasir lain. Contoh pada kata as sirat al mustaqim sebagian menafsirkan dengan Qur’an sedang yang lain dengan islam, namun keduanya bermakna sama karena islam ialah mengikuti qur’an (Drs.Mudzakir AS,2011:484)
  • Kedua, masing mufasir menafsirkan kata – kata yang bersifat umum dan menyebutkan makna dari sekian banyak makna yang ada, contoh penafsiran tentang firman Allah yang berbunyi : “ kemudian kitab itu kami wariskan kepada ornang – orang yang kami pilih diantara hamba – hamba kami namun diantara mereka ada yang berbuat aniaya (zalim)terhadap diri sendiri, ada pula yang bersikap moderat(muqtasid) dan ada pula yangterdepan (sabiq) dalam berbuat kebajikan (fathir 35:32) (Drs.Mudzakir AS,2011:485)[8]
Dalam pengartian zalim,muqtasid dan sabiq ada musafir yang mengaitkan dengan sholat ada pula yang mengaitkannya dengan zakat sehingga terasa ada perbedaan namun dalam makna sesungguhnya masih menggambarkan hal yang sama. Perbedaan juga terkadang dikarenakan ada dua lafadz yang bermakna ganda, namun itu bukan masalah besar selama tidak menyim-pang dari konteks yang asal.

  1. D.  Tafsir bil ra’yi
Tafsir bil ra’yi ialah pejelasan-penjelasan yang bersendi kepada ijtihad dan akal, berpegang kepada kaidah-kaidah bahasa dan adat istiadatorang arab dalam mempergunakan bahasanya.[9]
Tafsir bil rayi ada setelah berakhir masa salaf sekitar abad 3 H dan peradaban islam semakin maju dan berkambang, sehingga berkembanglah berbagai madzhab dan aliran di kalangan umat islam.masing – masing golongan berusaha menyakinkan umat islam dalam rangka mengembangkan paham mereka. Didukung dengan banyaknya para ahli tafsir yang telah menguasai berbagai disiplin ilmu, maka pada proses penafsiran mereka cenderung memasukkan hasil pemikiran serta pembahasan tersendiri yang berbeda dengan penafsir lain. Contohnya ada yang cenderung pada ilmu balagh (imam al Zamakhsyari) , pembahasan aspek hukum syariah (imam al-Qurtuby) karena individulisme seperti inilah banyak penafsir yang sampai mengesampingkan tafsir yang sesungguhnya karena sibuk memasukkan ide nya masing- masing. Tafsir bir – Ra’yi masih bisa diterima selama penafsir menjauhi lima hal berikut:[10]
v  Menjauhi sikap terlalu berani menduga – duga kehendak Allah didalam KalamNya, tanpa memiliki syarat penafsir
v  Memaksa diri memahami sesuatu yang hanya wewenang Allah untuk mengetahuinya.
v  Menghindari dorongan dan kepentingan hawa nafsu
v  Menghindari tafsir yang ditulis untuk kepentingan madzhab
v  Menghindari penafsiran pasti (qath’i)

Sehingga jika sudah menjauhi lima hal diatas maka mufasir dinilai berniat ikhlas untuk menafsirkan tanpa ada kepentingan terselubung.karena apabila tafsirnya memihak kepentingan suatu madzhab atau golongan maka ia dianggap sebagai pencipta bid’ah, tafsirnya dianggap tercela dan ditolak. Seperti pada kasusu dimana banyak penafsir dari golongan mu’tazilah yang memasukkan paham ke mu’tazilahannya yang bertumpu pada lima dasar yakni: tauhid, adil, all–wadu wa al–wa’id, al–manzilah bayanal manzilatayn serta amar ma’ruf nahi munkar.
Selain mu’tazilah ada beberapa golongan pula yang melakukan hal yang sama. Dalam perkembangannya tafsir bir-ra’yi mengalami perkembangan yang pesat, namun dalam penerimaan nya di mata para ulama ada dua tanggapan yakni memperbolehkan dan melarang. Meski ada beberapa ulama yang memperbolehkan penafsiran dengan ijtihad yang berdasarkan Al- Qur’an dan sunnah rasul serta kaedah yang dianggap mu’tabarat. Nmun, para ulama salaf lebih suka diam daripada menafsirkan Al- qur’an. Dan tidak ada dalil yang kuat untuk pelarangan tafsir bir–ra’yi sebagaimana ditulis oleh Ibn Taymiyat: “ mereka senantiasa membicarakan apa-apa yang mereka ketahui dan mereka diam pada hal–hal yang tidak mereka ketahui. Inilah kewajiban setiap orang [lanjutnya], ia harus diam kalau tidak tahu ,dan sebaliknya harus menjawab jika ditanya sesuatu yang diketahuinya”
Jadi diamnya ulam salaf bukan karena tidak mau menafsirkannya, bukan pula karena dilarang. Tapi, karena ke hati – hatian mereka supaya tidak masuk ke dalam apa yang disebut takhmin dalam menafsirkan Al- qur’an. Karena ada dua pandangan dalam hukum tafsir bir –ra’yi, maka kiitab – kitab tafsir bir- ra’yi dibedakan jadi dua macam yakni yang Mahmud (diperbolehkan) dan yang Mazhmum (terlarang /tercela).
Comtoh Kitab yang mahmud (diperbolehkan)[11]
  • Tafsir anwarut Tanzil wa Asrarut Takwil (Al Baidhawy)
  • Tafsir Irsyadul Aqlis Salim ( Abu Su’ud Al Imady)
  • Tafsir Fathul Qadir (Al Imam as Ayaukany)
  • Tafsir Fathul Bayan (Siddiq hassan Khan)
  • Tafsir Ruhul Ma’ani (Syihabudin al Alusy)
  • Al-jami’ Liahkami Qur’an (muhammad bin Abi bakr)
  • Tafsir Al Jalalain (Jalaludin Muhammad AlMahally dan Jalaludin Muhammad A Sayuthy)

Contoh kitab yang Mazhmum
  • Tanjihul qur’an ‘ani Mathain’ ( abu hasan abdul jabar) dari golongan mu’tazilah
  • Mir’atul Anwar wa Misykatul ashrar (Maula Abdul Latif Al-Kazarani) dari golongan Syi’ah
  • Tafsir Hassan Al – Askari (Abu Musa ) dari golongan Syi’ah
  • Himyanul Zad Ila Daril ma’ad (muhammad bin Yusuf) dari golongan Khawarij
  • Gharar Al-Fawa’id wa Darar Al Qalaid (Abu Qasim Ali) dari golongan Mu’tazilah.
  • Rahul Ma’ani (Syihabudin Al Alusi ) dari golongan khawarij
  • Tafsir Athiyah bin Muhammad An-Nazwany Al-zayidi tafsir fi tafsir (Muhsin bin Muhammad) dari golongan Zayidiyah

  1. E.     Hukum tafsir bil ma’tsur dan Bir- Ra’yi
Tafsir bil ma’tsur adalah tafsir yang harus diikuti dan dipedomani karena berdasar pada yang shahih seperti Al – qur’an dan Hadits nabi, maka bisa digunakan agar tidak tergelincir dalam kesesatan pengetahuan dalam memahami kitab Allah. Diriwayatkan oleh ibnu Abbas, ia berkata : “tafsir itu ada empat macam ; tafsir yang yang dapat diketahui oleh orang arab melalui bahasa mereka, tafsir yang harus diketahui oleh setiap orang, tafsir yang hanya bisa diketahui para ulama dan tafsir yanga sama sekali tidak mungkin diketahui oleh siapapun selain Allah.
Dari yang dikatakan ibnu Abbas kita bisa tahu bahwa ada beberapa tafsir yang tidak bisa dirtikan secara gamblang dan masih disembunyikan oleh Allah yang hanya bisa diuraikan oleh utusannya yakni Nabi Muhammad saw, seperti dalam hal- hal seperti ayat – ayat yang mengandung perintah wajib,anjuran dan himbauan, larangan, fungsi – fungsi hak, hukum–hukum, batas–batas kewajiban, kadar keharusan bagi sebagian makhluk terhadapa sebagian lain dan hukum- hukum lain yang terkandung dalam ayat- ayat Al- qur’an yang tidak dapat diketahui kecuali dengan penjelasan Rassulullah. Maka dari itu tafsir Ma’tsur dianjurkan untuk dipedomani karena metode tafsir jenis ini merujuk pula pada Sunnah Nabi Muhammad SAW.[12]
Tafsir Bil Ra’yi adalah diperbolehkan apabila ada dasar yang shahih namun apabila tidak ada maka tafsir jenis ini diharamkan atau tidak boleh dilakukan. Ada beberapa alasan yang melarang tafsir jenis ini seperti  seperti yang di kutip oleh Drs. Mudzakir As “dan jangan lah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (al – Isra’ [17] :36).

“katakanlah: ‘tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun tersembunyi, perbuatan dosa dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar ; (mengharamkan) kamu mempersekutukan dengan Allah sesuatu yang tidak ia turunkan hujjah mengenainya dan (mengharamkan ) kamu mengatakan terhadap Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui’ ” (al – A’raf [7]:33).

Secara umum dapat dikatakan bahwa jenis metode ini bisa dibilang tidak aman untuk menafsirkan karna biasanya termasuki oleh ide – ide penafsir itu sendiri tanpa disandarkan pada bukti – bukti yang shahih, namun masih ada beberapa yang diperbolehkan asalkan memenuhi persyaratan tertentu, serta tidak memihak salah satu golongan atau madzhab apapun.

Contoh Tafsir Bi ra`yi
Pada QS. Al-Ahzab ayat ke 59

يَاَّيُهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزۡوَٲجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ يُدۡنِينَ عَلَيۡہِنَّ مِن جَلَـٰبِيبِهِنَّۚ ذَٲلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَن يُعۡرَفۡنَ فَلَا يُؤۡذَيۡنَۗ  وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورً۬ا رَّحِيمً۬ا ) الاٴحزَاب : ٥٩ (
Artinya : “Hai, Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, putri-pitrimu, dan istri-istri orang-orang yang beriman. “Hendaklah mereka mengulurakan jilbabnya kedeluruh tubuh mereka”. Dengan pakaian serupa itu, mereka lebih mudah dikenal maka mereka tidak diganggu lagi, dan Allah senantiasa Maha Pengampun dan Maha Penyayang”.

Perintah berjilbab dalam ayat itu tampak kepada kita tidak secara tegas dan mutlak, melainkan tergantung kondisi kaum wanita itu. Diminta untuk memakai jilbab, manakala mereka diganggu oleh orang-orang usil dan nakal. Dengan demikian dimanapun di dunia ini baik dulu maupun sekarang, bila dijumpai kasus yang sama kreterianya dengan peristiwa yang melatarbelakangi turunya ayat ini, maka hukumnya adalah sama sesuai dengan kaidah ushul fiqih, yaitu hokum-hukum syara’ didasarkan pada ‘ilat penyebabnya ada atau tidak ‘ilat tersebut. Jika ‘ilat ada, maka ada pula hukumnya. Sebaliknya, jika tidak ada ‘ilat, maka taka da hukumnyaberdasarkan kaidah itu. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kewajiban memakai jilbab pada ayat itu bersifat kondisional.[13]

D. Tokoh – tokoh tafsir Bil Ma’tsur dan Bil Ra’yi [14]
Tafsir bil Ma’tsur memiliki beberapa tokoh – tokoh seperti
ü  Ibnu jarir Ath thabary
ü  Abul Laits as Samarqandy
ü  Al Wahidy
ü  Al Hafidh Ibnu katsir
ü  Abdul haqq bin Ghalib
ü  Abu Muhammad Al- Husain bin Mas’ud
ü  Jalaludin Asuyuthi
ü  Abdurrahman Atsa’libi
Tokoh – tokoh dalam tafsir bir-Ra’yi dibedakan jadi dua yakni yang tidak memihak pada golongan, yang tafsirnya mahmud yakni:
ü  Muhammad bin Husain ibnu Al- Hasan
ü  Muhammad bin Abi Bakr
ü  Jalaludin Muhammad bin ahmad
ü  Jalaludin abdurahman bin Abi Bakr
ü  Nidhamuddin ibnu hasan
ü  Shihabudin As- Sayid
Tokoh – tokoh yang tafsirnya Mazhmuz yakni :
ü  Maula Abdul Latif al- Kazarani (dari golongan Syi’ah)
ü  Muhammad bin Syah Murtadha (dari golongan Syi’ah)
ü  Shaltan bin muhammad (dari golongan Syi’ah)
ü  Abu Hasan Abdul Jabar bin Muhammad (dari golongan Mu’tazilah)
ü  Abu Qasim Muhammad bin ‘Amr bin Muhammad (dari golongan Mu’tazilah)
ü  Abu Abdurrahman As Sulami (dari golongan Khawarij)
Contoh penafsiran dengan Tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi
  • Tafsir bil ma’tsur
QS. Al-Ahzab : 59
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا ﴿٥٩
Artinya : “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Kemudian di jelaskan dalam QS an-Nur : 31, pada ayat ini jilbab dijelaskan tidak harus memakai jilbab yang menutupi seluruh tubuh.
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنّ ….
Artinya: “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya..” An-Nur[24]:31
Kemudian dalam hadis Nabi juga di terangkan tentang batasan jilbab yang diulurkan dari atas hingga bawah harus bisa menutupi dua telapak kaki wanita
Hal ini didasarkan pada Hadis Nabi saw :
Siapa saja yang menyeret bajunya lantaran angkuh, Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat.” Ummu Salamah bertanya, “Lalu bagaimana dengan ujung-ujung pakaian kami?” Beliau menjawab, “Turunkanlah satu jengkal.” Ummu Salamah bertanya lagi, “Kalau begitu, telapak kakinya tersingkap.” Lalu Rasulullah saw. bersabda lagi, “Turunkanlah satu hasta dan jangan lebih dari itu.” (HR at-Tirmidzi).

  • Tafsir bil ra’yi
Perintah berjilbab dalam ayat itu tampak kepada kita tidak secara tegas dan mutlak, melainkan tergantung kondisi kaum wanita itu. Diminta untuk memakai jilbab, manakala mereka diganggu oleh orang-orang usil dan nakal. Dengan demikian dimanapun di dunia ini baik dulu maupun sekarang, bila dijumpai kasus yang sama kreterianya dengan peristiwa yang melatarbelakangi turunya ayat ini, maka hukumnya adalah sama sesuai dengan kaidah ushul fiqih, yaitu hokum-hukum syara’ didasarkan pada ‘ilat penyebabnya ada atau tidak ‘ilat tersebut. Jika ‘ilat ada, maka ada pula hukumnya. Sebaliknya, jika tidak ada ‘ilat, maka taka da hukumnyaberdasarkan kaidah itu. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kewajiban memakai jilbab pada ayat itu bersifat kondisional.




KESIMPULAN
Dari berbagal ulasan, komentar, analisis baik dari banyak ahli maupun dari nash sendiri dapat diberi kesimpulan bahwa tafsir bil ma’tsur pada hakekatnya merupakan tafsir Alquran dengan Alquran sendiri, atau dengan Sunah Nabi, atau dengan perkataan sahabat, atau dengan tabi’in. Contoh-contoh penerapannya banyak terdapat dalam kitab-kitab tafsir terutama yang memaki metode tafsir bil ma’tsur. Nilai dan keandalan tafsir ini haruslah diterima oleh si mufassir terutama tafsir Alquran dengan Alquran dan tafsir Alquran dengan Sunah. Ma’tsur dari Nabi, atau sahabat, atau tabi’in haruslah diteliti dan dicermati secara ketat agar si mufassir terhindar dari riwayat-riwayat yang kurang kuat atau israiliyat dalam menafsirkan Alquran.
Sekalipun tafsir bil matsur pada hakekatnya adalah tafsir dengan naq muatan nalar tetap ada dan tidak bisa dihindari. Karena dalam proses kerja dengan menggunakan tafsir ini tetap saja tidak terlepas dari kualitas si mufassir, faktor-faktor kelemahan yang ada dalam tafsir bit ma’tsur, perkembangan zaman, perbedaan tempat dan lingkungan, perbedaan budaya dan lain-lain. Itu semua memberi peluang besar pengaruh nalar dalam tafsir bil ma’tsur, atau paling tidak muatan nalar memberi wawasan yang lebih luas dan variasi nuansa sekalipun tidak menggerogoti substansi tafsir bil ma’tsur itu sendiri.