TAFSIR BIL MA’TSUR DAN TAFSIR BIL RA’YI
Makassar, 07 maret 2014
Memperhatikan semakin majunya media di dunia ini pada umumnya dan Indonesia
pada khususnya. Baik itu media masa, surat kabar maupun elektronik. Yang mana
dampak positifnya adalah semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan baik
bersifat keagamaan atau umum. Dan disini yang paling pokok mengenai tafsir
Al-qur’an, yang mana bila dikembalikan kepesatnya perkembangan ilmu pendidikan
yang saat ini kita rasakan adalah rasio (akal) lah yang menjadi tolak ukur
terhadap suatu hal. Yang itu dinilai dari kemaslahatanya, maka kalau dikenakan
pada Al-qur’an dengan tujuan Li-tafsir, maka itu tidak pas. Karena kita masih
memiliki hadits nabi dan juga qoul sahabat dan tabi’in yang menjelaskan atau
menerangkan tentang isi kandungan Al-qur’an dan juga guna mempertegas perbedaan
antara Taksir dengan riwayat dan juga dengan akal. Maka dari argument diatas
kami tertarik membahas “ bentuk tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi”.
PEMBAHASAN
- A.
Tafsir
Istilah Tafsir merujuk kepada Al-Quran sebagaimana tercantum di dalam ayat
33 dari Al-Furqan yang artinya “tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu
membawa sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang
benar dan penjelasan (tafsir) yang terbaik”. Pengertian inilah yang
dimaksud dalam Lisan al-‘Arab dengan “kasyf al-mughaththa” (membukakan sesuatu
yang tertutup). Dan tafsir menurur Ibn Manzhur ialah membuka dan menjelaskan
maksud yang sukar dari suatu lafadz.
[1] Sebagian ulamapun banyak yang mengartikan tafsir sependapat
dengan Ibn Manzhur yaitu menjelaskan dan menerangkan.
Didalam kamus bahasa Indonesia, kata tafsir diartikan dengan “keterangan
atau penjelasan tentang ayat-ayat Al-Quran”.
[2] Termasuk didalamnya terjemah al-Quran. Jadi Tafsir Al-Quan
ialah penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar
memahaminya dari ayat-ayat Al-Quran. Dengan demikian menefsirkan al-Quran
adalah menjelaskan atau menerangkan makna-makna yang sulit pemahamannya dari
ayat-ayat tersebut. Dalam perkembangannya, tafsir terus dikembangkan dengan
berbagai metode untuk mencoba menemukan maksud yang pas dalam memahami
ayat-ayat Al-Quran. Dalam perkembangan awal, penafsiran tebagi menjadi dua
macam. Yaitu penafsiran Bil Ma’tsur dan Bil Ro’yu.
- B.
Tafsir bil Ma’tsur
Tafsir bil ma’tsur adalah metode penafsiran dengan cara mengutip,atau
mengambil rujukan pada Al – qur’an , hadist Nabi, kutipan sahabat serta tabi’in
[3].
Metode ini meng-haruskan mufasir menelusuri shahih tidaknya riwayat yang
digunakannya.
- C.
Sejarah serta perkembangan tafsir bil ma’tsur
Tafsir bil ma’tsur telah ada sejak zaman sahabat. Pada zaman ini
tafsir bil ma’tsur dilakukan dengan cara menukil penafsiran dari Rasulullah
SAW, atau dari sahabat oleh sahabat,serta dari sahabat oleh tabi’in dengan tata
cara yang jelas periwayatannya, cara seperti ini biasanya dilakukan secara
lisan. Setelah itu ada periode dimana penukilannya menggunakan penukilan pada
zaman sahabat yang telah dibukukan dan dikodifikasikan, pada awalnya kodifikasi
ini dimasukkan dalam kitab- kitab hadits, namun setelah tafsir menjadi disiplin
ilmu tersendiri, maka ditulis dan terbitlah buku – buku yang memuat khusus
tafsir bil ma’tsur lengkap dengan jalur sanad kepada nabi muhammad Saw, para
sahabat, tabi’in al tabi’in.
[4]
Semua kitab tafsir ini biasanya memuat hanya tentang tafsir bil ma’tsur
kecuali kitab yang dikarang ibn Jarir yang menyertakan pendapat dan
menganalisannya serta mengambil istinbath yang mungkin ditarik dari ayat
al-qur’an. Pada perkembangan selanjutnya, ada banyak tokoh yang mengkodifikasikan
tafsir bil ma’tsur tanpa mengemukakan periwayatan sanadnya dan hanya
mengemukakan pendapat – pendapatnya sendiri serta tidak membedakan periwayatn
yang shahih atau tidak. Karena adanya kecurigaan pemalsuan, muncullah studi –
studi kritis yang berhasil menemukan dan menyingkap sebagian riwayat palsu
sehingga para mufasir dapat berhati –hati. Hal ini kita temukan ketika
menafsirkan Al-Quran pada ayat yang
mujmal ditafsirkan oleh ayat lain
yang
mufasshal, ayat Al-Quran yang
mutlaq dengan ayat Al-Quran
yang
muqayyad.
[5]
Namun perlu kita tekankan juga bahwa dalam perkembangan tafsir bil ma’tsur
sendiri, tidak bisa terlepas dari unsur ro’yi. Walaupun pada masa ini blum
begtu dikenal adanay tafsir bil ro’yi tetapi mereka dalam melakukan penafsiran
bil ma’tsur tidak bisa lepas dari unsur ro’yi secara tidak langsung. Begitupun
dalam penafsran bil ra’yi mereka tidak serta lepas dari tafsir bil ma’tsur.
- Penafsiran
Al-qur’an dengan Al-qur’an
Contoh, seperti firman Allah :
وَالسَّمَآءِ وَالطَّارِقِ
Artinya :
“Demi langit dan yang datang dimalam hari”.QS. Ath-Thariq :
1
النَّجۡمُ الثَّاقِبُۙ ).الطّارق: ۳ (
Artinya :
“Ialah bintang yang bercahaya”. QS. Ath-Thariq : 3
Kemudian firman Allah ‘Azza wa jalla :
فَتَلَقّٰٓى اٰدَمُ مِنۡ رَّبِّه كَلِمٰتٍ فَتَابَ عَلَيۡهِ اِنَّه
هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيۡمُ ﴿ البَقَرَة: ۳۷﴾
Artinya :
“Kemudian Adam memperoleh beberapa kalimat dari tuhannya (ia mohon
ampun), lalu Allah menerima tobatnya”. QS. Al-Baqarah : 37.
Ditafsirkan dengan firman Allah :
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمۡنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمۡ تَغۡفِرۡ لَنَا
وَتَرۡحَمۡنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِينَ )الاٴعرَاف: ٢٣(
Artinya :
“Keduanya berkata, ya tuhan kami, kami telah menganiaya diri
kami sendiri, jika engkau tidak ampuni kesalahan kami dan tidak engkau asihi
kami, tentulah kami orang yang merugi”. QS. Al-A’raf : 23.
Lagi firman Allah ‘Azza wa jalla :
إِنَّآ أَنزَلۡنَـٰهُ فِى لَيۡلَةٍ۬ مُّبَـٰرَكَةٍۚ) الدّخان:٣(
Artinya :
“Sesungguhnya kami menurunkan dia pada malam yang penuh
berkah”. QS. Ad-Dukhan : 3.
Ditafsiri dengan firman Allah :
إِنَّآ أَنزَلۡنَـٰهُ فِى لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ (القَدر: ١(
Artinya :
“Sesungguhnya telah kami turunkan Al-qur’an pada malam Qadar
(malam mulia atau taqdir”. QS. Al-Qadar : 1.
Penafsiran Al-qur’an dengan Al-qur’an adalah bentuk tafsir yang tertinggi.
Keduannya tidak diragukan lagi untuk diterimanya yang pertama, karena Allah
SWT. Adalah sumber berita yang paling benar, yang tidak mungkin tercampur
perkara batil dari-Nya. Adapun yang kedua, karena himmah Rasul adalah
Al-qur’an, yakni untuk menjelaskan dan menerangkan.
- Penafsiran
Al-qur’an dengan Hadits
Allah ‘Azza wa jalla berfirman :
وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن قُوَّةٍ۬) … الاٴنفَال:
٦٠(
Artinya :
“Hendaklah kamu sediakan untuk melawan mereka, sekedar tenaga
kekuatanmu … “. QS. Al-Anfal : 60.
Nabi SAW. Menafsirkan kata
Al-quwwah (قُوَّةٍ۬ ) dengan
Ar-Ramnya
( الرَّمْيُ ) yang artinya panah. Sabda Nabi :
“ingat, sesungguhnya kekuatan
adalah anak panah, ingat, sesungguh-Nya kekuatan adalah anak panah”.
- Tafsir
sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in
Sesungguhnya tafsir para sahabat yang telah menyaksikan wahyu dan turunya
adalah memiliki hukuman
marfu’ artinya, bahwa tafsir para sahabat
mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan Hadits Nabawi yang diangkat dari
Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, tafsir sahabt itu termasuk ma’tsur.
[6]
Adapun tafsir para tabi’in dan tabi’it-tabi’in ada perbedaan pendapat
dikalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat, tafsir itu termasuk ma’tsur,
karena tabi’in itu bejumpa dengan sahabat. Ada pula yang berpendapat, tafsir
itu sama saja dengan tafsir bi ra’yi (penafsiran dengan pendapat). Artinya,
para tabi’in dan tabi’it-tabi’in itu mempunyai kedudukan yang sama dengan
Mufasyir yang hanya menafsirkan berdasarkan kaidah bahasa arab.
Diantara kitab tafsir yang memuat tentang tafsir bil ma’tsur yakni :
[7]
- Tafsir
Jami’ul Bayan ( Ibnu Jarir Ath Thabary)
- Tafsir
Al Bustan (Abul Laits as Samarqandy)
- Tafsir
Baqy Makhlad
- Tafsir
Ma’limut Tanzil (Al Baghawy)
- Tafsir
Al– Qur- anul ‘Adhim ( Al Hafidh ibnu Katsir)
- Tafsir
Asbabun Nuzul (Alwahidy)
- Tafsir
An Naskh wal mansukh (Abu Ja’far An Nahas)
- Tafsir
Ad Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur (As Suyuthy)
- Al
jawahir al – Hassan fi tafsir al-qur’an
(Abdurrahman Atsa’libi)
Pada perkembanganya tafsir bil ma’tsur juga mengalami perbedaan pendapat
antar Para periwayat, namun perbedaan itu hanya terletak pada aspek redaksional
sehingga maknanya sama hanya kata – kata yang berbeda. Perbedaan ini dapat
diklasifikasikan dalam dua macam yaitu :
- Pertama , seorang mufasir mengungkapkan maksud sebuah kata dengan
redaksi yang berbeda dengan mufasir lain. Contoh pada kata as sirat al mustaqim
sebagian menafsirkan dengan Qur’an sedang yang lain dengan islam, namun
keduanya bermakna sama karena islam ialah mengikuti qur’an (Drs.Mudzakir
AS,2011:484)
- Kedua,
masing mufasir menafsirkan kata – kata yang bersifat umum dan menyebutkan
makna dari sekian banyak makna yang ada, contoh penafsiran tentang firman
Allah yang berbunyi : “ kemudian kitab itu kami wariskan kepada ornang
– orang yang kami pilih diantara hamba – hamba kami namun diantara mereka
ada yang berbuat aniaya (zalim)terhadap diri sendiri, ada pula yang
bersikap moderat(muqtasid) dan ada pula yangterdepan (sabiq) dalam berbuat
kebajikan (fathir 35:32) (Drs.Mudzakir AS,2011:485)[8]
Dalam pengartian zalim,muqtasid dan sabiq ada musafir yang mengaitkan dengan
sholat ada pula yang mengaitkannya dengan zakat sehingga terasa ada perbedaan
namun dalam makna sesungguhnya masih menggambarkan hal yang sama. Perbedaan
juga terkadang dikarenakan ada dua lafadz yang bermakna ganda, namun itu bukan
masalah besar selama tidak menyim-pang dari konteks yang asal.
- D.
Tafsir bil ra’yi
Tafsir bil ra’yi ialah pejelasan-penjelasan yang bersendi kepada ijtihad dan
akal, berpegang kepada kaidah-kaidah bahasa dan adat istiadatorang arab dalam
mempergunakan bahasanya.
[9]
Tafsir bil rayi ada setelah berakhir masa salaf sekitar abad 3 H dan
peradaban islam semakin maju dan berkambang, sehingga berkembanglah berbagai
madzhab dan aliran di kalangan umat islam.masing – masing golongan berusaha
menyakinkan umat islam dalam rangka mengembangkan paham mereka. Didukung dengan
banyaknya para ahli tafsir yang telah menguasai berbagai disiplin ilmu, maka
pada proses penafsiran mereka cenderung memasukkan hasil pemikiran serta
pembahasan tersendiri yang berbeda dengan penafsir lain. Contohnya ada yang
cenderung pada ilmu balagh (imam al Zamakhsyari) , pembahasan aspek hukum
syariah (imam al-Qurtuby) karena individulisme seperti inilah banyak penafsir
yang sampai mengesampingkan tafsir yang sesungguhnya karena sibuk memasukkan
ide nya masing- masing. Tafsir bir – Ra’yi masih bisa diterima selama penafsir
menjauhi lima hal berikut:
[10]
v Menjauhi sikap terlalu berani menduga – duga kehendak Allah didalam
KalamNya, tanpa memiliki syarat penafsir
v Memaksa diri memahami sesuatu yang hanya wewenang Allah untuk
mengetahuinya.
v Menghindari dorongan dan kepentingan hawa nafsu
v Menghindari tafsir yang ditulis untuk kepentingan madzhab
v Menghindari penafsiran pasti (
qath’i)
Sehingga jika sudah menjauhi lima hal diatas maka mufasir dinilai berniat
ikhlas untuk menafsirkan tanpa ada kepentingan terselubung.karena apabila
tafsirnya memihak kepentingan suatu madzhab atau golongan maka ia dianggap
sebagai pencipta bid’ah, tafsirnya dianggap tercela dan ditolak. Seperti pada
kasusu dimana banyak penafsir dari golongan mu’tazilah yang memasukkan paham ke
mu’tazilahannya yang bertumpu pada lima dasar yakni: tauhid, adil, all–wadu wa
al–wa’id, al–manzilah bayanal manzilatayn serta amar ma’ruf nahi munkar.
Selain mu’tazilah ada beberapa golongan pula yang melakukan hal yang sama.
Dalam perkembangannya tafsir bir-ra’yi mengalami perkembangan yang pesat, namun
dalam penerimaan nya di mata para ulama ada dua tanggapan yakni memperbolehkan
dan melarang. Meski ada beberapa ulama yang memperbolehkan penafsiran dengan
ijtihad yang berdasarkan Al- Qur’an dan sunnah rasul serta kaedah yang dianggap
mu’tabarat. Nmun, para ulama salaf lebih suka diam daripada menafsirkan Al-
qur’an. Dan tidak ada dalil yang kuat untuk pelarangan tafsir bir–ra’yi
sebagaimana ditulis oleh Ibn Taymiyat:
“ mereka senantiasa membicarakan
apa-apa yang mereka ketahui dan mereka diam pada hal–hal yang tidak mereka
ketahui. Inilah kewajiban setiap orang [lanjutnya], ia harus diam kalau tidak
tahu ,dan sebaliknya harus menjawab jika ditanya sesuatu yang diketahuinya”
Jadi diamnya ulam salaf bukan karena tidak mau menafsirkannya, bukan pula
karena dilarang. Tapi, karena ke hati – hatian mereka supaya tidak masuk ke
dalam apa yang disebut takhmin dalam menafsirkan Al- qur’an. Karena ada dua
pandangan dalam hukum tafsir bir –ra’yi, maka kiitab – kitab tafsir bir- ra’yi
dibedakan jadi dua macam yakni yang Mahmud (diperbolehkan) dan yang Mazhmum
(terlarang /tercela).
Comtoh Kitab yang mahmud (diperbolehkan)
[11]
- Tafsir
anwarut Tanzil wa Asrarut Takwil (Al Baidhawy)
- Tafsir
Irsyadul Aqlis Salim ( Abu Su’ud Al Imady)
- Tafsir
Fathul Qadir (Al Imam as Ayaukany)
- Tafsir
Fathul Bayan (Siddiq hassan Khan)
- Tafsir
Ruhul Ma’ani (Syihabudin al Alusy)
- Al-jami’
Liahkami Qur’an (muhammad bin Abi bakr)
- Tafsir
Al Jalalain (Jalaludin Muhammad AlMahally dan Jalaludin Muhammad A
Sayuthy)
Contoh kitab yang Mazhmum
- Tanjihul
qur’an ‘ani Mathain’ ( abu hasan abdul jabar) dari golongan mu’tazilah
- Mir’atul
Anwar wa Misykatul ashrar (Maula Abdul Latif Al-Kazarani) dari golongan
Syi’ah
- Tafsir
Hassan Al – Askari (Abu Musa ) dari golongan Syi’ah
- Himyanul
Zad Ila Daril ma’ad (muhammad bin Yusuf) dari golongan Khawarij
- Gharar
Al-Fawa’id wa Darar Al Qalaid (Abu Qasim Ali) dari golongan Mu’tazilah.
- Rahul
Ma’ani (Syihabudin Al Alusi ) dari golongan khawarij
- Tafsir
Athiyah bin Muhammad An-Nazwany Al-zayidi tafsir fi tafsir (Muhsin bin
Muhammad) dari golongan Zayidiyah
- E.
Hukum tafsir bil ma’tsur dan Bir- Ra’yi
Tafsir bil ma’tsur adalah tafsir yang harus diikuti dan dipedomani
karena berdasar pada yang shahih seperti Al – qur’an dan Hadits nabi, maka bisa
digunakan agar tidak tergelincir dalam kesesatan pengetahuan dalam memahami
kitab Allah. Diriwayatkan oleh ibnu Abbas, ia berkata : “tafsir itu ada empat
macam ; tafsir yang yang dapat diketahui oleh orang arab melalui bahasa mereka,
tafsir yang harus diketahui oleh setiap orang, tafsir yang hanya bisa diketahui
para ulama dan tafsir yanga sama sekali tidak mungkin diketahui oleh siapapun
selain Allah.
Dari yang dikatakan ibnu Abbas kita bisa tahu bahwa ada beberapa tafsir yang
tidak bisa dirtikan secara gamblang dan masih disembunyikan oleh Allah yang
hanya bisa diuraikan oleh utusannya yakni Nabi Muhammad saw, seperti dalam hal-
hal seperti ayat – ayat yang mengandung perintah wajib,anjuran dan himbauan,
larangan, fungsi – fungsi hak, hukum–hukum, batas–batas kewajiban, kadar
keharusan bagi sebagian makhluk terhadapa sebagian lain dan hukum- hukum lain
yang terkandung dalam ayat- ayat Al- qur’an yang tidak dapat diketahui kecuali
dengan penjelasan Rassulullah. Maka dari itu tafsir Ma’tsur dianjurkan untuk
dipedomani karena metode tafsir jenis ini merujuk pula pada Sunnah Nabi
Muhammad SAW.
[12]
Tafsir Bil Ra’yi adalah diperbolehkan apabila ada dasar yang shahih
namun apabila tidak ada maka tafsir jenis ini diharamkan atau tidak boleh
dilakukan. Ada beberapa alasan yang melarang tafsir jenis ini seperti
seperti yang di kutip oleh Drs. Mudzakir As
“dan jangan lah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (al – Isra’
[17] :36).
“katakanlah:
‘tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak
maupun tersembunyi, perbuatan dosa dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar ; (mengharamkan) kamu mempersekutukan dengan Allah sesuatu yang tidak ia
turunkan hujjah mengenainya dan (mengharamkan ) kamu mengatakan terhadap Allah
sesuatu yang tidak kamu ketahui’ ” (al – A’raf [7]:33).
Secara umum dapat dikatakan bahwa jenis metode ini bisa dibilang tidak aman
untuk menafsirkan karna biasanya termasuki oleh ide – ide penafsir itu sendiri
tanpa disandarkan pada bukti – bukti yang shahih, namun masih ada beberapa yang
diperbolehkan asalkan memenuhi persyaratan tertentu, serta tidak memihak salah
satu golongan atau madzhab apapun.
Contoh Tafsir Bi ra`yi
Pada QS. Al-Ahzab ayat ke 59
يَاَّيُهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزۡوَٲجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ
ٱلۡمُؤۡمِنِينَ يُدۡنِينَ عَلَيۡہِنَّ مِن جَلَـٰبِيبِهِنَّۚ ذَٲلِكَ أَدۡنَىٰٓ
أَن يُعۡرَفۡنَ فَلَا يُؤۡذَيۡنَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورً۬ا رَّحِيمً۬ا )
الاٴحزَاب : ٥٩ (
Artinya :
“Hai, Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, putri-pitrimu, dan
istri-istri orang-orang yang beriman. “Hendaklah mereka mengulurakan jilbabnya
kedeluruh tubuh mereka”. Dengan pakaian serupa itu, mereka lebih mudah dikenal
maka mereka tidak diganggu lagi, dan Allah senantiasa Maha Pengampun dan Maha
Penyayang”.
Perintah berjilbab dalam ayat itu tampak kepada kita tidak secara tegas dan
mutlak, melainkan tergantung kondisi kaum wanita itu. Diminta untuk memakai
jilbab, manakala mereka diganggu oleh orang-orang usil dan nakal. Dengan
demikian dimanapun di dunia ini baik dulu maupun sekarang, bila dijumpai kasus
yang sama kreterianya dengan peristiwa yang melatarbelakangi turunya ayat ini,
maka hukumnya adalah sama sesuai dengan kaidah ushul fiqih, yaitu hokum-hukum
syara’ didasarkan pada ‘ilat penyebabnya ada atau tidak ‘ilat tersebut. Jika
‘ilat ada, maka ada pula hukumnya. Sebaliknya, jika tidak ada ‘ilat, maka taka
da hukumnyaberdasarkan kaidah itu. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
kewajiban memakai jilbab pada ayat itu bersifat kondisional.
[13]
D. Tokoh – tokoh tafsir Bil Ma’tsur dan Bil Ra’yi [14]
Tafsir bil Ma’tsur memiliki beberapa tokoh – tokoh seperti
ü Ibnu jarir Ath thabary
ü Abul Laits as Samarqandy
ü Al Wahidy
ü Al Hafidh Ibnu katsir
ü Abdul haqq bin Ghalib
ü Abu Muhammad Al- Husain bin Mas’ud
ü Jalaludin Asuyuthi
ü Abdurrahman Atsa’libi
Tokoh – tokoh dalam tafsir bir-Ra’yi dibedakan jadi dua yakni yang tidak
memihak pada golongan, yang tafsirnya
mahmud yakni:
ü Muhammad bin Husain ibnu Al- Hasan
ü Muhammad bin Abi Bakr
ü Jalaludin Muhammad bin ahmad
ü Jalaludin abdurahman bin Abi Bakr
ü Nidhamuddin ibnu hasan
ü Shihabudin As- Sayid
Tokoh – tokoh yang tafsirnya
Mazhmuz yakni :
ü Maula Abdul Latif al- Kazarani (dari golongan Syi’ah)
ü Muhammad bin Syah Murtadha (dari golongan Syi’ah)
ü Shaltan bin muhammad (dari golongan Syi’ah)
ü Abu Hasan Abdul Jabar bin Muhammad (dari golongan Mu’tazilah)
ü Abu Qasim Muhammad bin ‘Amr bin Muhammad (dari golongan Mu’tazilah)
ü Abu Abdurrahman As Sulami (dari golongan Khawarij)
Contoh penafsiran dengan Tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi
QS. Al-Ahzab : 59
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ
ٱلْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَن
يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا ﴿٥٩﴾
Artinya : “
Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah
untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.”
Kemudian di jelaskan dalam QS an-Nur : 31, pada ayat ini jilbab dijelaskan
tidak harus memakai jilbab yang menutupi seluruh tubuh.
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنّ ….
Artinya:
“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka
menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kerudung ke dadanya..” An-Nur[24]:31
Kemudian dalam hadis Nabi juga di terangkan tentang batasan jilbab yang
diulurkan dari atas hingga bawah harus bisa menutupi dua telapak kaki wanita
Hal ini didasarkan pada Hadis Nabi saw :
“
Siapa saja yang menyeret bajunya lantaran angkuh, Allah tidak akan
melihatnya pada Hari Kiamat.” Ummu Salamah bertanya, “Lalu bagaimana dengan
ujung-ujung pakaian kami?” Beliau menjawab, “Turunkanlah satu jengkal.” Ummu
Salamah bertanya lagi, “Kalau begitu, telapak kakinya tersingkap.” Lalu
Rasulullah saw. bersabda lagi, “Turunkanlah satu hasta dan jangan lebih dari
itu.” (HR at-Tirmidzi).
Perintah berjilbab dalam ayat itu tampak kepada kita tidak secara tegas dan
mutlak, melainkan tergantung kondisi kaum wanita itu. Diminta untuk memakai
jilbab, manakala mereka diganggu oleh orang-orang usil dan nakal. Dengan
demikian dimanapun di dunia ini baik dulu maupun sekarang, bila dijumpai kasus
yang sama kreterianya dengan peristiwa yang melatarbelakangi turunya ayat ini,
maka hukumnya adalah sama sesuai dengan kaidah ushul fiqih, yaitu hokum-hukum
syara’ didasarkan pada ‘ilat penyebabnya ada atau tidak ‘ilat tersebut. Jika ‘ilat
ada, maka ada pula hukumnya. Sebaliknya, jika tidak ada ‘ilat, maka taka da
hukumnyaberdasarkan kaidah itu. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kewajiban
memakai jilbab pada ayat itu bersifat kondisional.
KESIMPULAN
Dari berbagal ulasan, komentar, analisis baik dari banyak ahli maupun dari
nash sendiri dapat diberi kesimpulan bahwa tafsir bil ma’tsur pada hakekatnya
merupakan tafsir Alquran dengan Alquran sendiri, atau dengan Sunah Nabi, atau
dengan perkataan sahabat, atau dengan tabi’in. Contoh-contoh penerapannya
banyak terdapat dalam kitab-kitab tafsir terutama yang memaki metode tafsir bil
ma’tsur. Nilai dan keandalan tafsir ini haruslah diterima oleh si mufassir
terutama tafsir Alquran dengan Alquran dan tafsir Alquran dengan Sunah. Ma’tsur
dari Nabi, atau sahabat, atau tabi’in haruslah diteliti dan dicermati secara
ketat agar si mufassir terhindar dari riwayat-riwayat yang kurang kuat atau
israiliyat dalam menafsirkan Alquran.
Sekalipun tafsir bil matsur pada hakekatnya adalah tafsir dengan naq muatan
nalar tetap ada dan tidak bisa dihindari. Karena dalam proses kerja dengan
menggunakan tafsir ini tetap saja tidak terlepas dari kualitas si mufassir,
faktor-faktor kelemahan yang ada dalam tafsir bit ma’tsur, perkembangan zaman,
perbedaan tempat dan lingkungan, perbedaan budaya dan lain-lain. Itu semua
memberi peluang besar pengaruh nalar dalam tafsir bil ma’tsur, atau paling
tidak muatan nalar memberi wawasan yang lebih luas dan variasi nuansa sekalipun
tidak menggerogoti substansi tafsir bil ma’tsur itu sendiri.