Selasa, 25 Maret 2014

Daftar Koran, Tabloid dan Majalah Online


بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
perpustakaan
Sumber Informasi dan Ilmu.
Informasi di jaman sekarang sudah menjadi kebutuhan dan lahan bisnis; contohnya dunia media massa baik cetak maupun elektronik kini tumbuh subur dari waktu ke waktu.
Postingan ini berisi link menuju situs online surat kabar, majalah dan tabloid. Diantaranya: 
1. Koran: Republika, Warta Kota, Suara Pembaruan, Media Indonesia, The Jakarta Post, Suara karya, Pos Kota, Seputar Indonesia, Koran Tempo, Bisnis Indonesia, harian Pelita, Sinar Harapan, Kompas, Rakyat Merdeka dan Top Skor.
2.Majalah: Intisari, Trubus, Sabili, Panji Masyarakat, Gatra, Ummi, Femina, Nurani dan Bobo.
3. Tabloid: Bola, Soccer, Mancing, Kontan, Pulsa, Otomotif, Wanita Indonesia, Internet, Nyata.
Cara membukanya sangat mudah. Klik saja nama koran, majalah atau tabloid yang anda pilih, anda akan langsung terhubung ke halaman koran atau majalah pilihan anda.

1. Koran Nasional

republika online
warta kota online
suara pembaruan online
media indonesia online indopos online jawa pos
Media Indonesia Indo Pos Jawa Pos       

pos kota onlineseputar indonesia online koran tempo online

bisnis indonesia online the jakarta post online sinar harapan online
The Jakarta Post

kompas online rakyat merdeka online
top skor online

2. Majalah

majalah intisari
majalah trubus
Sabili (?)

majalah gatra majalah ummi
Panji Masyarakat (?)

majalaah femina online majalah nurani majalah bobo

3. Tabloid

tabloid bola
tabloid soccer online
Mancing (?)

tabloid kontantabloid pulsaalamat tabloid otomotif

tabloid wanita indonesiatabloid internetalamat tabloid nyata



Demikianlah beberapa koleksi yang baru bisa saya himpun, ada beberapa yang masih perlu di cari linknya. Maka jika ada diantar pembaca yang mengetahui, atau ada mengusulkan tambahan koran, majalah atau tabloid untuk dipasang di blog ini, silakan beritahu lewat kotak komentar.
Semoga bermanfaat.

Minggu, 09 Maret 2014

10 perang kaum muslimin bersama nabi saw

INILAH 10 PERANG YG TERJADI DI ZAMAN NABI MUHAMMAD SAW

" Sahabat Pustakers, pada kesempata kali ini Pustaka Sekolah akan publish artikel mengenai Sejarah Islam, khusunya sejarah Perang yang dipimpin oleh Nabi SAW. Sewaktu awal perkembangan Islam, nabi SAW mau tidak mau harus mengahadapi Agresi musuh Islam pada medan Perang. Berikut ini beberapa Perang yang dipimpin langsung oleh Nabi SAW.
  Perang Badar (17 Ramadan 2 H)
Perang Badar terjadi di Lembah Badar, 125 km selatan Madinah. Perang Badar merupakan puncak pertikaian antara kaum muslim Madinah dan musyrikin Quraisy Mekah. Peperangan ini disebabkan oleh tindakan pengusiran dan perampasan harta kaum muslim yang dilakukan oleh musyrikin Quraisy. Selanjutnya kaum Quraisy terus menerus berupaya menghancurkan kaum muslim agar perniagaan dan sesembahan mereka terjamin. Dalam peperangan ini kaum muslim memenangkan pertempuran dengan gemilang. Tiga tokoh Quraisy yang terlibat dalam Perang Badar adalah Utbah bin Rabi"ah, al-Walid dan Syaibah. Ketiganya tewas di tangan tokoh muslim seperti Ali bin Abi Thalib. Ubaidah bin Haris dan Hamzah bin Abdul Muthalib. adapun di pihak muslim Ubaidah bin Haris meninggal karena terluka.
  Perang Uhud (Syakban 3 H)
Perang Uhud terjadi di Bukit Uhud. Perang Uhud dilatarbelakangi kekalahan kaum Quraisy pada Perang Badar sehingga timbul keinginan untuk membalas dendam kepada kaum muslim. Pasukan Quraisy yang dipimpin Khalid bin Walid mendapat bantuan dari kabilah Saqib, Tihamah, dan Kinanah. Nabi Muhammad SAW segera mengadakan musyawarah untuk mencari strategi perang yang tepat dalam menghadapi musuh. Kaum Quraisy akan disongsong di luar Madinah. Akan tetapi, Abdullah bin Ubay membelot dan membawa 300 orang Yahudi kembali pulang. Dengan membawa 700 orang yang tersisa, Nabi SAW melanjutkan perjalanan sampai ke Bukit Uhud. Perang Uhud dimulai dengan perang tanding yang dimenangkan tentara Islam tetapi kemenangan tersebut digagalkan oleh godaan harta, yakni prajurit Islam sibut memungut harta rampasan. Pasukan Khalid bin Walid memanfaatkan keadaan ini dan menyerang balik tentara Islam. Tentara Islam menjadi terjepit dan porak-poranda, sedangkan Nabi SAW sendiri terkena serangan musuh. Pasukan Quraisy kemudian mengakhiri pertempuran setelah mengira Nabi SAW terbunuh. Dalam perang ini, Hamzah bin Abdul Muthalib (paman Nabi SAW) meninggal terbunuh.
  Perang Khandaq (Syawal 5 H)
Lokasi Perang Khandaq adalah di sekitar kota Madinah bagian utara. Perang ini juga dikenal sebagai Perang Ahzab (Perang Gabungan). Perang Khandaq melibatkan kabilah Arab dan Yahudi yang tidak senang kepada Nabi Muhammad SAW. Mereka bekerjasama melawan Nabi SAW. Di samping itu, orang Yahudi juga mencari dukungan kabilah Gatafan yang terdiri dari Qais Ailan, Bani Fazara, Asyja", Bani Sulaim, Bani Sa"ad dan Ka"ab bin Asad. Usaha pemimpin Yahudi, Huyay bin Akhtab, membuahkan hasil. Pasukannya berangkat ke Madinah untuk menyerang kaum muslim. Berita penyerangan itu didengar oleh Nabi Muhammad SAW. Kaum muslim segera menyiapkan strategi perang yang tepat untuk menghasapo pasukan musuh. Salman al-Farisi, sahabat Nabi SAW yang mempunyai banyak pengalaman tentang seluk beluk perang, mengusulkan untuk membangun sistem pertahanan parit (Khandaq). Ia menyarankan agar menggali parit di perbatasan kota Madinah, dengan demikian gerakan pasukman musuh akan terhambat oleh parit tersebut. Usaha ini ternyata berhasil menghambat pasukan musuh.
  Perang Khaibar (7 H)
Lokasi perang ini adalah di daerah Khaibar. Perang Khaibar merupakan perang untuk menaklukkan Yahudi. Masyarakat Yahudi Khaibar paling sering mengancam pihak Madinah melalui persekutuan Quraisy atau Gatafan. Pasukan muslimin yang dipimpin Nabi Muhammad SAW menyerang benteng pertahanan Yahudi di Khaibar. Pasukan muslim mengepung dan memutuskan aliran air ke benteng Yahudi. Taktik itu ternyata berhasil dan akhirnya pasukan muslim memenangkan pertempuran serta menguasai daerah Khaibar. Pihak Yahudi meminta Nabi SAW untuk tidak mengusir mereka dari Khaibar. Sebagai imbalannya, mereka berjanji tidak lagi memusuhi Madinah dan menyerahkan hasil panen kepada kaum muslim.

  Perang Mu"tah (8 H)
Perang ini terjadi karena Haris al-Ghassani raja Hirah, menolak penyampaian wahyu dan ajakan masuk Islam yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Penolakan ini disampaikan dengan cara membunuh utusan Nabi SAW. Nabi SAW kemudian mengirimkan pasukan perang di bawah pimpinan Zaid bin Harisah. Perang ini dinamakan Perang Mu"tah karena terjadi di desa Mu"tah, bagian utara Semenanjung Arabia. Pihak pasukan muslim mendapat kesulitan menghadapi pasukan al-Ghassani yang dibantu pasukan Kekaisaran Romawi. Beberapa sahabat gugur dalam pertempuran tersebut, antara lain Zaid bin Harisah sendiri. Akhirnya Khalid bin Walid mengambil alih komando dan menarik pasukan muslim kembali ke Madinah. Kemampuan Khalin bin Walid menarik pasukan muslimin dari kepungan musuh membuat kagum masyarakat wilayah tersebut. Banyak kabilah Nejd, Sulaim, Asyja", Gatafan, Abs, Zubyan dan Fazara masuk Islam karena melihat keberhasilan dakwah Islam.
Penaklukan Kota Mekah/Fath al-Makkah (8 H)
Fath al-Makkah terjadi di sekitar kota Mekah. Latar belakang peristiwa ini adalah adanya anggapan kaum Quraisy bahwa kekuatan kaum muslim telah hancur akibat kalah perang di Mu"tah. Kaum Quraisy beranggapan Perjanjian Hudaibiyah (6 H) tidak penting lagi, maka mereka mengingkarinya dan menyerang Bani Khuza"ah yang berada dibawa perlindungan kaum muslim. Nabi Muhammad SAW segera memerintahkan pasukan muslimin untuk menghukum kaum Quraisy. Pasukan muslimin tidak mendapat perlawanan yang berarti, kecuali dari kaum Quraisy yang dipimpin Ikrimah dan Safwan. Berhala di kota Mekah dihancurkan dan akhirnya banyak kaum Quraisy masuk Islam.
  Perang Hunain ( 8 Safar 8 H)
Perang Hunain berlangsung antara kaum muslim melawan kaum Quraisy yang terdiri dari Bani Hawazin, Bani Saqif, Bani Nasr dan Bani Jusyam. Perang ini terjadi di Lembah Hunain, sekitar 70 km dari Mekah. Perang Hunain merupakan balas dendam kaum Quraisy karena peristiwa Fath al-Makkah. Pada awalnya pasukan musuh berhasil mengacaubalaukan pasukan Islam sehingga banyak pasukan Islam yang gugur. Nabi SAW kemudian menyemangati pasukannya dan memimpin langsung peperangan. Pasukan muslim akhirnya dapat memenangkan pertempuran tersebut.
Perang Ta"if (8 H)
Pasukan muslim mengejar sisa pasukan Quraisy, yang melarikan diri dari Hunain, sampai di kota Ta"if. Pasukan Quraisy bersembunyi dalam benteng kota yang kokoh sehingga pasukan muslimin tidak dapat menembus benteng. Nabi Muhammad SAW mengubah taktik perangnya dengan memblokade seluruh wilayah Ta"if. Pasukan muslimin kemudian membakar ladang anggur yang merupakan sumber daya alam utama penduduk Ta"if. Penduduk Ta"if pada akhirnya menyerah dan menyatakan bergabung dengan pasukan Islam.
  Perang Tabuk (9 H)
Lokasi perang ini adalah kota Tabuk, perbatasan antara Semenanjung Arabia dan Syam (Suriah). Adanya peristiwa penaklukan kota Mekah membuat seluruh Semenanjung Arabia berada di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Melihat kenyataan itu, Heraklius, penguasa Romawi Timur, menyusun pasukan besar untuk menyerang kaum muslim. Pasukan muslimin kemudian menyiapkan diri dengan menghimpun kekuatan yang besar karena pada masa itu banyak pahlawan Islam yang menyediakan diri untuk berperang bersama Nabi SAW. Pasukan Romawi mundur menarik diri setelah melihat besarnya jumlah pasukan Islam. Nabi SAW tidak melakukan pengejaran tetapi berkemah di Tabuk. Di sini Nabi SAW membuat perjanjian dengan penduduk setempat sehingga daerah perbatasan tersebut dapat dirangkul dalam barisan Islam.
  Perang Widan (12 Rabiulawal 2 H)
Perang ini terjadi di Widan, sebuah desa antara Mekah dan Madinah. Rasulullah SAW memimpin pasukan muslimin menghadang kafilah Quraisy. Pertempuran fisik tidak terjadi karena kafilah Quraisy lewat di daerah tersebut. Rasulullah SAW selanjutnya mengadakan perjanjian kerjasama dengan Bani Damrah yang tinggal di rute perdagangan kafilah Quraisy di Widan. Kesepakatan tersebut berisi kesanggupan Bani Damrah untuk membantu kaum muslim apabila dibutuhkan.
Demikianlah artikel mengenai sejarah peperangan yang dipimpin langsung oleh Nabi Muahammad SAW dalam menegakkan kalimah Allah di Bumi ini, semoga artikel ini tentunya dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi kita semua

Jumat, 07 Maret 2014

TAFSIR BIL MA'TSUR DAN BIR RA'YI




TAFSIR BIL MA’TSUR DAN TAFSIR BIL RA’YI

Makassar, 07 maret 2014

    Memperhatikan semakin majunya media di dunia ini pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Baik itu media masa, surat kabar maupun elektronik. Yang mana dampak positifnya adalah semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan baik bersifat keagamaan atau umum. Dan disini yang paling pokok mengenai tafsir Al-qur’an, yang mana bila dikembalikan kepesatnya perkembangan ilmu pendidikan yang saat ini kita rasakan adalah rasio (akal) lah yang menjadi tolak ukur terhadap suatu hal. Yang itu dinilai dari kemaslahatanya, maka kalau dikenakan pada Al-qur’an dengan tujuan Li-tafsir, maka itu tidak pas. Karena kita masih memiliki hadits nabi dan juga qoul sahabat dan tabi’in yang menjelaskan atau menerangkan tentang isi kandungan Al-qur’an dan juga guna mempertegas perbedaan antara Taksir dengan riwayat dan juga dengan akal. Maka dari argument diatas kami tertarik membahas “ bentuk tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi”.

PEMBAHASAN
  1. A.    Tafsir
Istilah Tafsir merujuk kepada Al-Quran sebagaimana tercantum di dalam ayat 33 dari Al-Furqan yang artinya “tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar  dan penjelasan (tafsir) yang terbaik”. Pengertian inilah yang dimaksud dalam Lisan al-‘Arab dengan “kasyf al-mughaththa” (membukakan sesuatu yang tertutup). Dan tafsir menurur Ibn Manzhur ialah membuka dan menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafadz.[1] Sebagian ulamapun banyak yang mengartikan tafsir sependapat dengan Ibn Manzhur yaitu menjelaskan dan menerangkan.
Didalam kamus bahasa Indonesia, kata tafsir diartikan dengan “keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Al-Quran”.[2] Termasuk didalamnya terjemah al-Quran. Jadi Tafsir Al-Quan ialah penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar memahaminya dari ayat-ayat Al-Quran. Dengan demikian menefsirkan al-Quran adalah menjelaskan atau menerangkan makna-makna yang sulit pemahamannya dari ayat-ayat tersebut. Dalam perkembangannya, tafsir terus dikembangkan dengan berbagai metode untuk mencoba menemukan maksud yang pas dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Dalam perkembangan awal, penafsiran tebagi menjadi dua macam. Yaitu penafsiran Bil Ma’tsur dan Bil Ro’yu.
  1. B.     Tafsir bil Ma’tsur
Tafsir bil ma’tsur adalah metode penafsiran dengan cara mengutip,atau mengambil rujukan pada Al – qur’an , hadist Nabi, kutipan sahabat serta tabi’in[3]. Metode ini meng-haruskan mufasir menelusuri shahih tidaknya riwayat yang digunakannya.
  1. C.    Sejarah serta perkembangan tafsir bil ma’tsur
Tafsir bil ma’tsur telah ada sejak zaman sahabat. Pada zaman ini tafsir bil ma’tsur dilakukan dengan cara menukil penafsiran dari Rasulullah SAW, atau dari sahabat oleh sahabat,serta dari sahabat oleh tabi’in dengan tata cara yang jelas periwayatannya, cara seperti ini biasanya dilakukan secara lisan. Setelah itu ada periode dimana penukilannya menggunakan penukilan pada zaman sahabat yang telah dibukukan dan dikodifikasikan, pada awalnya kodifikasi ini dimasukkan dalam kitab- kitab hadits, namun setelah tafsir menjadi disiplin ilmu tersendiri, maka ditulis dan terbitlah buku – buku yang memuat khusus tafsir bil ma’tsur lengkap dengan jalur sanad kepada nabi muhammad Saw, para sahabat, tabi’in al tabi’in.[4]
Semua kitab tafsir ini biasanya memuat hanya tentang tafsir bil ma’tsur kecuali kitab yang dikarang ibn Jarir yang menyertakan pendapat dan menganalisannya serta mengambil istinbath yang mungkin ditarik dari ayat al-qur’an. Pada perkembangan selanjutnya, ada banyak tokoh yang mengkodifikasikan tafsir bil ma’tsur tanpa mengemukakan periwayatan sanadnya dan hanya mengemukakan pendapat – pendapatnya sendiri serta tidak membedakan periwayatn yang shahih atau tidak. Karena adanya kecurigaan pemalsuan, muncullah studi – studi kritis yang berhasil menemukan dan menyingkap sebagian riwayat palsu sehingga para mufasir dapat berhati –hati. Hal ini kita temukan ketika menafsirkan Al-Quran pada ayat yang mujmal ditafsirkan oleh ayat lain yang mufasshal, ayat Al-Quran yang mutlaq dengan ayat Al-Quran yang muqayyad.[5]
Namun perlu kita tekankan juga bahwa dalam perkembangan tafsir bil ma’tsur sendiri, tidak bisa terlepas dari unsur ro’yi. Walaupun pada masa ini blum begtu dikenal adanay tafsir bil ro’yi tetapi mereka dalam melakukan penafsiran bil ma’tsur tidak bisa lepas dari unsur ro’yi secara tidak langsung. Begitupun dalam penafsran bil ra’yi mereka tidak serta lepas dari tafsir bil ma’tsur.
  1. Penafsiran Al-qur’an dengan Al-qur’an
Contoh, seperti firman Allah :
وَالسَّمَآءِ وَالطَّارِقِ
Artinya : “Demi langit dan yang datang dimalam hari”.QS. Ath-Thariq : 1
النَّجۡمُ الثَّاقِبُۙ ).الطّارق: ۳ ‏(
Artinya : “Ialah bintang yang bercahaya”. QS. Ath-Thariq : 3
Kemudian firman Allah ‘Azza wa jalla :
فَتَلَقّٰٓى اٰدَمُ مِنۡ رَّبِّه كَلِمٰتٍ فَتَابَ عَلَيۡهِ‌ اِنَّه هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيۡمُ‏ ﴿ البَقَرَة:  ۳۷﴾
Artinya : “Kemudian Adam memperoleh beberapa kalimat dari tuhannya (ia mohon ampun), lalu Allah menerima tobatnya”. QS. Al-Baqarah : 37.
Ditafsirkan dengan firman Allah :
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمۡنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمۡ تَغۡفِرۡ لَنَا وَتَرۡحَمۡنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِينَ )الاٴعرَاف: ٢٣(
Artinya : “Keduanya berkata, ya tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, jika engkau tidak ampuni kesalahan kami dan tidak engkau asihi kami, tentulah kami orang yang merugi”. QS. Al-A’raf : 23.
Lagi firman Allah ‘Azza wa jalla :
إِنَّآ أَنزَلۡنَـٰهُ فِى لَيۡلَةٍ۬ مُّبَـٰرَكَةٍ‌ۚ) الدّخان:٣(
Artinya : “Sesungguhnya kami menurunkan dia pada malam yang penuh berkah”. QS. Ad-Dukhan : 3.
Ditafsiri dengan firman Allah :
إِنَّآ أَنزَلۡنَـٰهُ فِى لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ (القَدر: ١(
Artinya : “Sesungguhnya telah kami turunkan Al-qur’an pada malam Qadar (malam mulia atau taqdir”. QS. Al-Qadar : 1.
Penafsiran Al-qur’an dengan Al-qur’an adalah bentuk tafsir yang tertinggi. Keduannya tidak diragukan lagi untuk diterimanya yang pertama, karena Allah SWT. Adalah sumber berita yang paling benar, yang tidak mungkin tercampur perkara batil dari-Nya. Adapun yang kedua, karena himmah Rasul adalah Al-qur’an, yakni untuk menjelaskan dan menerangkan.

  1. Penafsiran Al-qur’an dengan Hadits
Allah ‘Azza wa jalla berfirman :
وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن قُوَّةٍ۬) … الاٴنفَال: ٦٠(
Artinya : “Hendaklah kamu sediakan untuk melawan mereka, sekedar tenaga kekuatanmu … “. QS. Al-Anfal : 60.
Nabi SAW. Menafsirkan kata Al-quwwah (قُوَّةٍ۬ ) dengan Ar-Ramnya ( الرَّمْيُ ) yang artinya panah. Sabda Nabi : “ingat, sesungguhnya kekuatan adalah anak panah, ingat, sesungguh-Nya kekuatan adalah anak panah”.

  1.  Tafsir sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in
Sesungguhnya tafsir para sahabat yang telah menyaksikan wahyu dan turunya adalah memiliki hukuman marfu’ artinya, bahwa tafsir para sahabat mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan Hadits Nabawi yang diangkat dari Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, tafsir sahabt itu termasuk ma’tsur.[6]
Adapun tafsir para tabi’in dan tabi’it-tabi’in ada perbedaan pendapat dikalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat, tafsir itu termasuk ma’tsur, karena tabi’in itu bejumpa dengan sahabat. Ada pula yang berpendapat, tafsir itu sama saja dengan tafsir bi ra’yi (penafsiran dengan pendapat). Artinya, para tabi’in dan tabi’it-tabi’in itu mempunyai kedudukan yang sama dengan Mufasyir yang hanya menafsirkan berdasarkan kaidah bahasa arab.
Diantara kitab tafsir yang memuat tentang tafsir bil ma’tsur yakni :[7]
  • Tafsir Jami’ul Bayan ( Ibnu Jarir Ath Thabary)
  • Tafsir Al Bustan (Abul Laits as Samarqandy)
  • Tafsir Baqy Makhlad
  • Tafsir Ma’limut Tanzil (Al Baghawy)
  • Tafsir Al– Qur- anul ‘Adhim ( Al Hafidh ibnu Katsir)
  • Tafsir Asbabun Nuzul (Alwahidy)
  • Tafsir An Naskh wal mansukh (Abu Ja’far An Nahas)
  • Tafsir Ad Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur (As Suyuthy)
  • Al jawahir al – Hassan fi tafsir al-qur’an
    (Abdurrahman Atsa’libi)

Pada perkembanganya tafsir bil ma’tsur juga mengalami perbedaan pendapat antar Para periwayat, namun perbedaan itu hanya terletak pada aspek redaksional sehingga maknanya sama hanya kata – kata yang berbeda. Perbedaan ini dapat diklasifikasikan dalam dua macam yaitu :
- Pertama , seorang mufasir mengungkapkan maksud sebuah kata dengan redaksi yang berbeda dengan mufasir lain. Contoh pada kata as sirat al mustaqim sebagian menafsirkan dengan Qur’an sedang yang lain dengan islam, namun keduanya bermakna sama karena islam ialah mengikuti qur’an (Drs.Mudzakir AS,2011:484)
  • Kedua, masing mufasir menafsirkan kata – kata yang bersifat umum dan menyebutkan makna dari sekian banyak makna yang ada, contoh penafsiran tentang firman Allah yang berbunyi : “ kemudian kitab itu kami wariskan kepada ornang – orang yang kami pilih diantara hamba – hamba kami namun diantara mereka ada yang berbuat aniaya (zalim)terhadap diri sendiri, ada pula yang bersikap moderat(muqtasid) dan ada pula yangterdepan (sabiq) dalam berbuat kebajikan (fathir 35:32) (Drs.Mudzakir AS,2011:485)[8]
Dalam pengartian zalim,muqtasid dan sabiq ada musafir yang mengaitkan dengan sholat ada pula yang mengaitkannya dengan zakat sehingga terasa ada perbedaan namun dalam makna sesungguhnya masih menggambarkan hal yang sama. Perbedaan juga terkadang dikarenakan ada dua lafadz yang bermakna ganda, namun itu bukan masalah besar selama tidak menyim-pang dari konteks yang asal.

  1. D.  Tafsir bil ra’yi
Tafsir bil ra’yi ialah pejelasan-penjelasan yang bersendi kepada ijtihad dan akal, berpegang kepada kaidah-kaidah bahasa dan adat istiadatorang arab dalam mempergunakan bahasanya.[9]
Tafsir bil rayi ada setelah berakhir masa salaf sekitar abad 3 H dan peradaban islam semakin maju dan berkambang, sehingga berkembanglah berbagai madzhab dan aliran di kalangan umat islam.masing – masing golongan berusaha menyakinkan umat islam dalam rangka mengembangkan paham mereka. Didukung dengan banyaknya para ahli tafsir yang telah menguasai berbagai disiplin ilmu, maka pada proses penafsiran mereka cenderung memasukkan hasil pemikiran serta pembahasan tersendiri yang berbeda dengan penafsir lain. Contohnya ada yang cenderung pada ilmu balagh (imam al Zamakhsyari) , pembahasan aspek hukum syariah (imam al-Qurtuby) karena individulisme seperti inilah banyak penafsir yang sampai mengesampingkan tafsir yang sesungguhnya karena sibuk memasukkan ide nya masing- masing. Tafsir bir – Ra’yi masih bisa diterima selama penafsir menjauhi lima hal berikut:[10]
v  Menjauhi sikap terlalu berani menduga – duga kehendak Allah didalam KalamNya, tanpa memiliki syarat penafsir
v  Memaksa diri memahami sesuatu yang hanya wewenang Allah untuk mengetahuinya.
v  Menghindari dorongan dan kepentingan hawa nafsu
v  Menghindari tafsir yang ditulis untuk kepentingan madzhab
v  Menghindari penafsiran pasti (qath’i)

Sehingga jika sudah menjauhi lima hal diatas maka mufasir dinilai berniat ikhlas untuk menafsirkan tanpa ada kepentingan terselubung.karena apabila tafsirnya memihak kepentingan suatu madzhab atau golongan maka ia dianggap sebagai pencipta bid’ah, tafsirnya dianggap tercela dan ditolak. Seperti pada kasusu dimana banyak penafsir dari golongan mu’tazilah yang memasukkan paham ke mu’tazilahannya yang bertumpu pada lima dasar yakni: tauhid, adil, all–wadu wa al–wa’id, al–manzilah bayanal manzilatayn serta amar ma’ruf nahi munkar.
Selain mu’tazilah ada beberapa golongan pula yang melakukan hal yang sama. Dalam perkembangannya tafsir bir-ra’yi mengalami perkembangan yang pesat, namun dalam penerimaan nya di mata para ulama ada dua tanggapan yakni memperbolehkan dan melarang. Meski ada beberapa ulama yang memperbolehkan penafsiran dengan ijtihad yang berdasarkan Al- Qur’an dan sunnah rasul serta kaedah yang dianggap mu’tabarat. Nmun, para ulama salaf lebih suka diam daripada menafsirkan Al- qur’an. Dan tidak ada dalil yang kuat untuk pelarangan tafsir bir–ra’yi sebagaimana ditulis oleh Ibn Taymiyat: “ mereka senantiasa membicarakan apa-apa yang mereka ketahui dan mereka diam pada hal–hal yang tidak mereka ketahui. Inilah kewajiban setiap orang [lanjutnya], ia harus diam kalau tidak tahu ,dan sebaliknya harus menjawab jika ditanya sesuatu yang diketahuinya”
Jadi diamnya ulam salaf bukan karena tidak mau menafsirkannya, bukan pula karena dilarang. Tapi, karena ke hati – hatian mereka supaya tidak masuk ke dalam apa yang disebut takhmin dalam menafsirkan Al- qur’an. Karena ada dua pandangan dalam hukum tafsir bir –ra’yi, maka kiitab – kitab tafsir bir- ra’yi dibedakan jadi dua macam yakni yang Mahmud (diperbolehkan) dan yang Mazhmum (terlarang /tercela).
Comtoh Kitab yang mahmud (diperbolehkan)[11]
  • Tafsir anwarut Tanzil wa Asrarut Takwil (Al Baidhawy)
  • Tafsir Irsyadul Aqlis Salim ( Abu Su’ud Al Imady)
  • Tafsir Fathul Qadir (Al Imam as Ayaukany)
  • Tafsir Fathul Bayan (Siddiq hassan Khan)
  • Tafsir Ruhul Ma’ani (Syihabudin al Alusy)
  • Al-jami’ Liahkami Qur’an (muhammad bin Abi bakr)
  • Tafsir Al Jalalain (Jalaludin Muhammad AlMahally dan Jalaludin Muhammad A Sayuthy)

Contoh kitab yang Mazhmum
  • Tanjihul qur’an ‘ani Mathain’ ( abu hasan abdul jabar) dari golongan mu’tazilah
  • Mir’atul Anwar wa Misykatul ashrar (Maula Abdul Latif Al-Kazarani) dari golongan Syi’ah
  • Tafsir Hassan Al – Askari (Abu Musa ) dari golongan Syi’ah
  • Himyanul Zad Ila Daril ma’ad (muhammad bin Yusuf) dari golongan Khawarij
  • Gharar Al-Fawa’id wa Darar Al Qalaid (Abu Qasim Ali) dari golongan Mu’tazilah.
  • Rahul Ma’ani (Syihabudin Al Alusi ) dari golongan khawarij
  • Tafsir Athiyah bin Muhammad An-Nazwany Al-zayidi tafsir fi tafsir (Muhsin bin Muhammad) dari golongan Zayidiyah

  1. E.     Hukum tafsir bil ma’tsur dan Bir- Ra’yi
Tafsir bil ma’tsur adalah tafsir yang harus diikuti dan dipedomani karena berdasar pada yang shahih seperti Al – qur’an dan Hadits nabi, maka bisa digunakan agar tidak tergelincir dalam kesesatan pengetahuan dalam memahami kitab Allah. Diriwayatkan oleh ibnu Abbas, ia berkata : “tafsir itu ada empat macam ; tafsir yang yang dapat diketahui oleh orang arab melalui bahasa mereka, tafsir yang harus diketahui oleh setiap orang, tafsir yang hanya bisa diketahui para ulama dan tafsir yanga sama sekali tidak mungkin diketahui oleh siapapun selain Allah.
Dari yang dikatakan ibnu Abbas kita bisa tahu bahwa ada beberapa tafsir yang tidak bisa dirtikan secara gamblang dan masih disembunyikan oleh Allah yang hanya bisa diuraikan oleh utusannya yakni Nabi Muhammad saw, seperti dalam hal- hal seperti ayat – ayat yang mengandung perintah wajib,anjuran dan himbauan, larangan, fungsi – fungsi hak, hukum–hukum, batas–batas kewajiban, kadar keharusan bagi sebagian makhluk terhadapa sebagian lain dan hukum- hukum lain yang terkandung dalam ayat- ayat Al- qur’an yang tidak dapat diketahui kecuali dengan penjelasan Rassulullah. Maka dari itu tafsir Ma’tsur dianjurkan untuk dipedomani karena metode tafsir jenis ini merujuk pula pada Sunnah Nabi Muhammad SAW.[12]
Tafsir Bil Ra’yi adalah diperbolehkan apabila ada dasar yang shahih namun apabila tidak ada maka tafsir jenis ini diharamkan atau tidak boleh dilakukan. Ada beberapa alasan yang melarang tafsir jenis ini seperti  seperti yang di kutip oleh Drs. Mudzakir As “dan jangan lah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (al – Isra’ [17] :36).

“katakanlah: ‘tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun tersembunyi, perbuatan dosa dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar ; (mengharamkan) kamu mempersekutukan dengan Allah sesuatu yang tidak ia turunkan hujjah mengenainya dan (mengharamkan ) kamu mengatakan terhadap Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui’ ” (al – A’raf [7]:33).

Secara umum dapat dikatakan bahwa jenis metode ini bisa dibilang tidak aman untuk menafsirkan karna biasanya termasuki oleh ide – ide penafsir itu sendiri tanpa disandarkan pada bukti – bukti yang shahih, namun masih ada beberapa yang diperbolehkan asalkan memenuhi persyaratan tertentu, serta tidak memihak salah satu golongan atau madzhab apapun.

Contoh Tafsir Bi ra`yi
Pada QS. Al-Ahzab ayat ke 59

يَاَّيُهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزۡوَٲجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ يُدۡنِينَ عَلَيۡہِنَّ مِن جَلَـٰبِيبِهِنَّۚ ذَٲلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَن يُعۡرَفۡنَ فَلَا يُؤۡذَيۡنَۗ  وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورً۬ا رَّحِيمً۬ا ) الاٴحزَاب : ٥٩ (
Artinya : “Hai, Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, putri-pitrimu, dan istri-istri orang-orang yang beriman. “Hendaklah mereka mengulurakan jilbabnya kedeluruh tubuh mereka”. Dengan pakaian serupa itu, mereka lebih mudah dikenal maka mereka tidak diganggu lagi, dan Allah senantiasa Maha Pengampun dan Maha Penyayang”.

Perintah berjilbab dalam ayat itu tampak kepada kita tidak secara tegas dan mutlak, melainkan tergantung kondisi kaum wanita itu. Diminta untuk memakai jilbab, manakala mereka diganggu oleh orang-orang usil dan nakal. Dengan demikian dimanapun di dunia ini baik dulu maupun sekarang, bila dijumpai kasus yang sama kreterianya dengan peristiwa yang melatarbelakangi turunya ayat ini, maka hukumnya adalah sama sesuai dengan kaidah ushul fiqih, yaitu hokum-hukum syara’ didasarkan pada ‘ilat penyebabnya ada atau tidak ‘ilat tersebut. Jika ‘ilat ada, maka ada pula hukumnya. Sebaliknya, jika tidak ada ‘ilat, maka taka da hukumnyaberdasarkan kaidah itu. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kewajiban memakai jilbab pada ayat itu bersifat kondisional.[13]

D. Tokoh – tokoh tafsir Bil Ma’tsur dan Bil Ra’yi [14]
Tafsir bil Ma’tsur memiliki beberapa tokoh – tokoh seperti
ü  Ibnu jarir Ath thabary
ü  Abul Laits as Samarqandy
ü  Al Wahidy
ü  Al Hafidh Ibnu katsir
ü  Abdul haqq bin Ghalib
ü  Abu Muhammad Al- Husain bin Mas’ud
ü  Jalaludin Asuyuthi
ü  Abdurrahman Atsa’libi
Tokoh – tokoh dalam tafsir bir-Ra’yi dibedakan jadi dua yakni yang tidak memihak pada golongan, yang tafsirnya mahmud yakni:
ü  Muhammad bin Husain ibnu Al- Hasan
ü  Muhammad bin Abi Bakr
ü  Jalaludin Muhammad bin ahmad
ü  Jalaludin abdurahman bin Abi Bakr
ü  Nidhamuddin ibnu hasan
ü  Shihabudin As- Sayid
Tokoh – tokoh yang tafsirnya Mazhmuz yakni :
ü  Maula Abdul Latif al- Kazarani (dari golongan Syi’ah)
ü  Muhammad bin Syah Murtadha (dari golongan Syi’ah)
ü  Shaltan bin muhammad (dari golongan Syi’ah)
ü  Abu Hasan Abdul Jabar bin Muhammad (dari golongan Mu’tazilah)
ü  Abu Qasim Muhammad bin ‘Amr bin Muhammad (dari golongan Mu’tazilah)
ü  Abu Abdurrahman As Sulami (dari golongan Khawarij)
Contoh penafsiran dengan Tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi
  • Tafsir bil ma’tsur
QS. Al-Ahzab : 59
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا ﴿٥٩
Artinya : “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Kemudian di jelaskan dalam QS an-Nur : 31, pada ayat ini jilbab dijelaskan tidak harus memakai jilbab yang menutupi seluruh tubuh.
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنّ ….
Artinya: “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya..” An-Nur[24]:31
Kemudian dalam hadis Nabi juga di terangkan tentang batasan jilbab yang diulurkan dari atas hingga bawah harus bisa menutupi dua telapak kaki wanita
Hal ini didasarkan pada Hadis Nabi saw :
Siapa saja yang menyeret bajunya lantaran angkuh, Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat.” Ummu Salamah bertanya, “Lalu bagaimana dengan ujung-ujung pakaian kami?” Beliau menjawab, “Turunkanlah satu jengkal.” Ummu Salamah bertanya lagi, “Kalau begitu, telapak kakinya tersingkap.” Lalu Rasulullah saw. bersabda lagi, “Turunkanlah satu hasta dan jangan lebih dari itu.” (HR at-Tirmidzi).

  • Tafsir bil ra’yi
Perintah berjilbab dalam ayat itu tampak kepada kita tidak secara tegas dan mutlak, melainkan tergantung kondisi kaum wanita itu. Diminta untuk memakai jilbab, manakala mereka diganggu oleh orang-orang usil dan nakal. Dengan demikian dimanapun di dunia ini baik dulu maupun sekarang, bila dijumpai kasus yang sama kreterianya dengan peristiwa yang melatarbelakangi turunya ayat ini, maka hukumnya adalah sama sesuai dengan kaidah ushul fiqih, yaitu hokum-hukum syara’ didasarkan pada ‘ilat penyebabnya ada atau tidak ‘ilat tersebut. Jika ‘ilat ada, maka ada pula hukumnya. Sebaliknya, jika tidak ada ‘ilat, maka taka da hukumnyaberdasarkan kaidah itu. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kewajiban memakai jilbab pada ayat itu bersifat kondisional.




KESIMPULAN
Dari berbagal ulasan, komentar, analisis baik dari banyak ahli maupun dari nash sendiri dapat diberi kesimpulan bahwa tafsir bil ma’tsur pada hakekatnya merupakan tafsir Alquran dengan Alquran sendiri, atau dengan Sunah Nabi, atau dengan perkataan sahabat, atau dengan tabi’in. Contoh-contoh penerapannya banyak terdapat dalam kitab-kitab tafsir terutama yang memaki metode tafsir bil ma’tsur. Nilai dan keandalan tafsir ini haruslah diterima oleh si mufassir terutama tafsir Alquran dengan Alquran dan tafsir Alquran dengan Sunah. Ma’tsur dari Nabi, atau sahabat, atau tabi’in haruslah diteliti dan dicermati secara ketat agar si mufassir terhindar dari riwayat-riwayat yang kurang kuat atau israiliyat dalam menafsirkan Alquran.
Sekalipun tafsir bil matsur pada hakekatnya adalah tafsir dengan naq muatan nalar tetap ada dan tidak bisa dihindari. Karena dalam proses kerja dengan menggunakan tafsir ini tetap saja tidak terlepas dari kualitas si mufassir, faktor-faktor kelemahan yang ada dalam tafsir bit ma’tsur, perkembangan zaman, perbedaan tempat dan lingkungan, perbedaan budaya dan lain-lain. Itu semua memberi peluang besar pengaruh nalar dalam tafsir bil ma’tsur, atau paling tidak muatan nalar memberi wawasan yang lebih luas dan variasi nuansa sekalipun tidak menggerogoti substansi tafsir bil ma’tsur itu sendiri.